Ini
semua berawal dari kerinduan
Yang
terus tumbuh mnejadi kata dalam diam
Hingga
bulir bening ini muncul
Lalu
berkata…
“Tidak
perlu ucapkan selamat tinggal ”
Buku bertuliskan diary Anisa telah ditutup.
Malam semakin larut, Anisa masih saja
terdiam di meja belajarnya. Matanya sembab dan hidungnya merah, kepalanya
menunduk sedih, sesekali telunjukkanya mengusap pinggiran matanya menahan agar
tidak ada air mata yang jatuh. Dari tadi mulutnya sibuk melantunkan nada – nada
indah berisi pujian terhadap yang maha kuasa Allah swt. Pikirannya melayang
entah kemana, mengingat semua kejadian sebelumnya. Gadis 6 tahun ini sudah
cukup mengerti dengan apa yang terjadi sebelumnya.
***
“ Ayah… bunda akan dibawa kemana ? ”
Tanya Anisa di gendongan ayah ketika melihat bundanya yang menurutnya sedang
tertidur dimasukkan ke dalam mobil putih dan dikerumuni orang berbaju putih
pula.
Ayah menatap wajah putri satu –
satunya itu sambil tersenyum “ Ke rumah sakit sayang, ” jawab ayah tegar
Anisa percaya dengan jawaban sang
ayah meskipun dia merasa takut sekali sekarang ini.
“ Kamu jangan berhenti berdzikir ya,
Anisa, ” Tutur ayah . Kini setetes air mata mulai tampak di pelupuk mata ayah.
“ Ayah kenapa menangis ? ” Tangan
mungil Anisa menghapus air mata ayah.
“ Kamu akan mengerti sebentar lagi.
”
Anisa menatap mata sang ayah. Sepertinya
anak ini sudah mulai mengerti. Mau kemana bundanya di bawa, dan ia tahu apa
yang sebenarnya sedang terjadi. Bulir – bulir bening mulai keluar dari mata
Anisa sehingga membuat pandangannya tidak jelas. Dia tidak bisa melihat ayahnya
yang juga meneteskan air mata di depannya. Lalu, mereka larut sejenak dalam
tangisan mereka.
“ Apa bunda akan baik – baik saja,
Ayah ? ” Tanya anisa diiringi dengan sesenggukan.
“ Ayah berharap seperti itu, nak. ”
Sekarang mereka berada dalam sebuah
lorong putih dengan cahaya terang . Beberapa orang berbaju putih berlalu –
lalang sambil berusaha tetap tenang. Tangan Anisa mulai dingin. Dia berharap
operasi bundanya berjalan lancar.
Seorang dokter keluar dari ruangan
dengan menundukkan kepalanya. Dengan segera ayah menghampiri dokter. Tinggal
Anisa yang tidak berani mendengar bagaimana hasilnya. Anisa memang tidak bisa
mendengar pembicaraan mereka, tetapi dia bia melihat ayahnya menangis.
***
Sore ini, diiringi rintik – rintik
hujan kecil yang menyertai keberangkatan bunda menuju rumah barunya. Di rumah
Tuhan.
Hanya
karena semuanya berubah
Bukan
berarti itu tidak pernah terjadi
Raihlah
bintang di langit gelap
Dan
ikuti cahayanya
Kau
akan kembali
Ketika
semua telah berakhir
“
Tidak perlu ucapkan selamat tinggal ”
Anisa tidak bisa
menangis lagi ketika melihat gundukan tanah di depannya. Bertabur bunga warna
merah dan putih yang berbau wangi. Tangan mungilnya gemetar untuk menyentuh
tanah cokelat di depannya. Bibirnya senantiasa masih saja mengucapkan dzikir
untuk sang bunda. Sesekali dia bacakan sholawat dan al-fatihah.
“ Anisa, ayo pulang sayang, biarkan
bunda istirahat. ” Ucap ayah
Sang ayah tahu betul jika putrinya
mengerti akan apa yang terjadi. Hatinya saja masih sangat terpukul akan
kematian istrinya. Bagimana dengan anaknya yang mulai tumbuh besar ini ? Ayah
sangat tahu apa isi hati Anisa karena dia juga merasakan apa yang anaknya
rasakan itu.
“ Ayah, Bunda kedinginan, ” Ucap
Anisa
Dari belakang, ayah mengusap lembut
rambut Anisa dengan kasih sayang. Dia mencoba melakukan apa yang dilakukan
bunda kepada Anisa sebelum kejadian ini terjadi.
“ Kasihan Bunda, Ayah. Pasti Bunda
juga kegelapan di dalam sana. Bunda sendirian, Ayah… ” Ucap Anisa pada ayahnya.
Matanya masih saja menatap nanar gundukan cokelat di depannya. Tangan mungil
yang gemetar itu beralih ke nisan bertuliskan nama sang bunda.
Tangan Anisa masuk ke dalam kerudung
merah mudanya, mengambil kuncir yang sedari tadi dipakainya.
“ Ini untuk Bunda. ” Anisa
meletakkan kuncirnya di dekat batu nisan.
“ Sudah sayang, ayo kita pulang. ”
Digandengnya tangan Anisa untuk
pulang. Di saku ayah masih tersimpan surat yasin yang tadi dibacakan untuk
bunda. Andai saja Anisa sudah lancar membaca Al- quran, pasti tadi dia mengajak
Anisa ikut serta untuk membacakan yasin untuk bundanya.
“ Ayah, Aku mau belajar mengaji
nanti malam. Aku ingin membaca surat yang tadi Ayah bacakan untuk bunda. Anisa
ingin membacakan itu untuk buda juga. Ayah bisa mengajari Anisa nanti ? ”
Melihat mata putrinya yang berbinar
dan kesungguhan yang ada pada diri Anisa, ayah mengangguk mantap.
“ Ya, sayang. Nanti akan ayah ajari.
Kamu sudah sampai iqro’ 5 kan ? ”
“ Iya Ayah. Minggu lalu Anisa sudah
mulai iqro’ 5. Memangnya al-qur an itu sulit ya ? ”
Ayah menjawab pertanyaan berurut
dari Anisa dengan sabar. Dia senang melihat putrinya semangat mengaji dan
melakukan perintahnya untuk tidak berhenti berdzikir pada Allah swt.
“ Setelah iqro’5 masih ada iqro’ 6,
Anisa. Selain mengaji di TPA kamu akan ayah ajari setiap malam supaya kamu
cepat Al-quran. ”
Selepas sholat magrib, ayah
mengajari Anisa mengaji. Hingga terdengar kumandang adzan isya’membuat mereka
berhenti sejenak. Lalu melaksanakan panggilan dari Allah swt untuk melaksanakan
sholat isya’.
Dalam doa Anisa
“ Ya Allah swt, ampunilah dosa bunda selama ini. Bunda orang yang baik,
bunda tidak pernah marah pada Anisa. Tempatkanlah bunda di surga ya Allah. Ya
Allah, Anisa ingin pergi ke rumah bunda, Anisa ingin membacakan yasin untuk
bunda, jangan kau turunkan hujan Ya Allah. Agar Anisa bisa membacakan Yasin
dulu untuk Bunda. Amin.”
Anisa anak yang ceria, meskipun di
masih mengingat bundanya, tetapi semangatnya untuk belajar mengaji sangatlah
besar. Dengan harapan jika dia sudah Al – Quran nanti, dia akan melantunkan
surat yasin kepada bundanya dari bibirnya sendiri.
“ Ayo sekarang giliran Anisa, ”
Panggil ustadzah
Anisa segera meletakkan iqro’ di
meja lalu mengaji dengan lancar.
“ Anisa, kamu bisa lanjut halaman
berikutnya besok. ”
“ Iya ustadzah, ” Ucap Anisa kembali
ke tempatnya.
Hilwa dan Zahra, teman Anisa
menghampiri ketika Anisa selesai mengaji.
“ Anisa..” Panggil Hilwa
Anisa menoleh dan melihat Hilwa dan
Zahra melambai ke arahnya bermaksud menyuruhnya mendekat untuk duduk di dekat
mereka.
“ Kenapa teman – teman ? ”
“ Waktu kemarin kamu tidak masuk,
ustadzah menceritakan kisah nabi ayub. Sudah pernah dengar belum ? ”
“ Eh, belum. Memang bagimana
ceritanya ? kalian masih ingat ? ” Tanya Anisa
“ Bagaimana ya ? pokoknya ceritanya
bagus. Nabi Ayub mendapat banyak cobaan tapi aku lupa apa saja, dan hebatnya
nabi Ayub tetap sabar, ” cerita Zahra
“ Ih, kamu bagaimana sih ? Aku kan
belum tahu, ayo dong certakan sedikit saja. Cobaan apa saja sih ? ” Anisa makin
penasaran.
“ Gimana sih, Zahra ? baru saja
kemarin sore ustadzah menceritakan kisah itu, kamu sekarang sudah lupa, ” Ucap Hilwa
Tiba – tiba seseorang berdehem di
belakang mereka. “ Ehem.. lagi ngobrol
apa sih ? ” Ternyata itu adalah ustadz Alif.
“ Eh, ustadz, ini lo Anisa penasaran
dengan kisah Nabi Ayub. ”
“ Ya sudah, ustadz akan menceritakan
sedikit tentang kisah itu pada Anisa, ” Jawab ustadz ramah
“ Yeeey…” Mereka bertiga bersorak
senang.
“ Jadi, nabi Ayub itu adalah orang
yang kaya raya dulunya. Tetapi nabi Ayub tidaklah sombong, dia tetap bersedekah
dan tidak pernah memamerkan kekayaannya. Hingga pada suatu ketika, musibah
datang berturut – turut. Rumah nya terbakar, anak – anaknya meninggal dunia,
dan nabi Ayub terkena penyakit kulit yang sangat dahsyat sehingga membuat istri-nya pergi
meninggalkannya. Para tetangga juga tidak mau menemui nabi Ayub karena takut
terular oleh penyakit tersebut. ”
“ Wah, kasihan sekali nabi Ayub.
Lalu bagaimana ustadz ? ” Tanya Anisa
“ Coba Hilwa teruskan ! ”
“ Lalu nabi Ayub berdoa kepada Allah
swt untuk diberikan jalan keluar atas masalah yang menim…” terpotong oleh Zahra
“ Allah tidak akan memberikan cobaan
kepada suatu kaum melebihi kekuatan hambanya,
” Tutur Zahra “ Iya, kan ustadz ? ”
“ Benar sekali Zahra, tapi alangkah
baiknya jika Zahra tidak memotong pembicaraan Hilwa tadi, ya. ”
“ Hehe, iya ustadz. Maaf Hilwa,
jangan marah ya ! ”
“ Iya, ” Hilwa tersenyum kepada
Zahra “ eh iya, lalu ada juga ulah iblis untuk menggoyahkan iman nabi Ayub.
Selain dengan yang tadi, sebelumnya iblis juga telah membakar seluruh lumbung
gandum nabi Ayub, dan lahan pertaniannya musnah. Tetapi nabi Ayub masih tetap
sabar karena dia yakin semua itu adalah titipan dari Allah swt semata dan sudah
waktuya kembali, ”
“ Coba sekarang Zahra yang cerita !
” Perintah ustadz Alif
“ Ketika sakit, nabi Ayub bersumpah
untuk memukul istrinya 100 kali jika kembali. Hingga pada suatu ketika, nabi
Ayub bermunajat kepada Allah swt dengan khusyuk dia memohon untuk diberikan
rahmat dan pertolongan atas semua cobaan yang dideritanya. ”
“ Lalu ? Apa yang terjadi
selanjutnya ? ” Tanya Anisa
“ Muncul air untuk mandi dan minum
nabi Ayub dari Allah swt. Setelah itu, lama – kelamaan seiring berjalannya
waktu, kulit nabi Ayub semakin membaik bahkan tubuhnya kembali bugar. Istri
nabi Ayub kembali kepada nabi Ayub dan terkejut melihat suaminya sehat kembali.
Nabu Ayub sangat senang istrinya kembali.”
“ Lalu ? apa nabi Ayub juga memukul
istrinya 100 kali ? ” Anisa semakin penasaran.
“ Untuk menepati janjinya, dia
diberi petunjuk oleh Allah swt agar mengambil seikat rumput berjumlah seratus
helai untuk dipukulkan kepada istrinya. Maka gugurlah kewajiban nabi Ayub atas
sumpahnya. Tamat. ”
“ Jadi, kita harus mencontoh
perilaku nabi ayub yang… apa saja ? ” Tanya ustadz Alif
“ Tidak sombong ”
“ Sabar ”
“ Menepati janji ”
“ Selalu taat beribadah kepada Allah
”
Suara itu terdengar bergantian dari
mulut Anisa, Zahwa, dan Hilwa.
Anisa terlihat sangat riang sore itu
bersama teman – temannya dan juga ustadz Alif. Anisa sejenak terlupa akan
kesedihan yang melanda hidupnya. Dia juga belajar dari kisah nabi Ayub untuk
senantiasa bersabar dan tetap taat kepada Allah ketika menghadapi cobaan.
Karena dia yakin bahwa Allah sedang mengujinya. Tidak ada cobaat yang datang
dari Allah yang melebihi kemampuan hambanya.
Hampir satu bulan setelah kematian
mendiang bunda. Anisa tetap semangat belajar mengaji hingga lancar agar dia
bisa menetapi janjinya kepada bunda untuk membacakan surat Yasin. Tadi sore,
Anisa sudah membaca surah Al – Baqarah. Masih terbata – bata memang cara
membacanya, namun Ayah yang melihat itu terlihat bangga dengan kerja keras
putrinya.
***
Anisa dengan payung biru berkunjung
seorang diri ke rumah bunda. Sekali lagi hati Anisa diuji dengan gundukan tanah
tepat di depannya. Kerinduan Anisa terhadap bunda tak tertahankan lagi sehingga
air mata dengan perlahan mulai membasahi pipinya. Anisa merogoh saku kanan-nya
lalu dikeluarkan sebuah buku kecil berwarna biru tua.
“ Bunda, Anisa mau mencoba
membacakan Yasin untuk bunda. Kata ayah, kalau orang yang sudah meninggal dan
dibacakan yasin akan terang jalannya. Anisa tidak ingin jalan bunda gelap
seperti sarang semut… ” berhenti sejenak menahan air mata yang hendak jatuh “ …
Jadi, Anisa ke sini membawakan cahaya untuk Bunda. Tapi maaf kalau Anisa
bacanya jelek. ”
Anisa mulai membuka lembaran dalam
buku kecil itu. Butuh beberapa detik untuk memantapkan hati bagi Anisa untuk
melakukannya. Anisa yakin, ada Allah yang menuntunnya untuk membaca, ada malaikat
yang menyaksikan dia di sini dan ada bundanya yang menunggu lantunan setiap doa
dari putri kecilnya, Anisa
“ Bismilaahirrahmaani rahiim… Yaasiin…
”
Anisa mulai melantunkan bacaan surat
Yasin walaupun terpatah – patah. Khusyuk sekali di membaca hingga selesai. Tiba
– tiba setelah Anisa selesai membacakan Yasin untuk bundanya, rintik – rintik
hujan turun dengan perlahan dan semakin deras.
Anisa, seorang gadis 6 tahun yang
memegang surat Yasin di tangan kanan, dan payung biru di tangan kirinya tengah
menangis di depan rumah cokelat milik bunda. Lalu ia jatuhkan begitu saja
payung biru milikknya ke tanah. Membiarkan dirinya basah kuyup oleh terpaan
hujan sore hari.
Anisa tersenyum dalam deraian air
matanya.
“ Bunda, dulu Bunda selalu melarang
Anisa untuk bermain hujan – hujanan. Tapi maaf sekarang Anisa tidak menaati
perintah bunda.
“ Bunda juga melarang Anisa untuk
menangis di luar rumah. Anisa selalu menaati waktu itu karena Anisa juga malu
jika harus menangis di luar. ”
Air mata Anisa terus mengalir tak
terbendung lagi. Di depan makam bundanya, Anisa mengeluarkan semua curahan
hatinya, semua yang ingin ia ucakan pada bunda, rasa terima kasih Anisa pada
bundanya, permintaan maaf Anisa karena sering tidak mengindahkan perkataan
bunda.
“ Maaf, bunda. Sekarang Anisa
bermain hujan sambil menangis. Anisa memang malu untuk menangis di luar, tetapi
Anisa ingin menemani Bunda di sini. Anisa tidak takut untuk malu menangis.”
“ Tenang saja bunda, air mata Anisa
ditutupi oleh hujan yang baik ini. Anisa tidak terlihat sedang menangis, kan
bunda ? Iya kan, Bunda ? Bahkan sekarang Anisa sedang tersenyum untuk Bunda. ”
Di
bawah hujan dan sunggingan senyum serta bibir yang tak berhenti berdzikir, tak
akan ada yang tahu jika anak kecil ini tengah menangis. Hanya Anisa sendiri
yang tahu dengan ditemani hujan sebagai saksi. Hujan dan gundukan tanah cokelat
akan menemani Anisa hingga Anisa bosan. Agar Anisa tidak merasa…sendirian
TAMAT
Note : Cerpen ini sebelumnya pernah diikutkan lomba dan kalah. Jadi, maaf kalau jelek :
Komentar
Posting Komentar