Malam
yang riang ini tak pernah membuatku kesepian untuk berlari. Aku masih belum
bisa berfikir apa yang terjadi namun langkah ini terus menuju tujuanku. Rumah.
Bulan dan bintang saling menyanyikan lagu dan beradu tarian. Jangrik seakan mengiringi
mereka dengan musik indahnya. Namun hari ini, para katak terdiam tak bersuara,
bersembunyi di bebatuan yang membuat mereka nyaman. Beberapa saat kemudian
semua terasa hening. Mungkin mereka sudah pulang. Sama sepertiku, pulang. Di
depanku, rumahku, aku pulang.
Dua orang di depanku tengah hanyut
bermimpi dalam tidur pulas mereka. Bersembunyi dalam selimut kelabu melindungi
diri dari dinginnya malam, mereka mungkin tak sadar bila kaki mereka menampakkan
diri di luar selimut. Sesekali bergetar terkena angin yang masuk melalui
jendela yang lupa ditutup. Aku tersenyum simpul. Bahagia melihat guratan di
dahi mereka mulai berkurang, setidaknya dengan tertidur beban yang mereka alami
perlahan mulai hilang. Lalu aku pergi dari kamar itu sebelum mereka terbangun
karena merasakan keberadaanku.
Aku
masuk ke sebuah kamar ber-cat oranye milik seseorang. “Icha..” ucapku pelan
sembari mengamati perubahan yang terjadi pada kamar ini. Sudah lama semenjak
aku pergi dari rumah tak pernah sekalipun aku masuk kamar ini. Dulu, tak ada
hiasan kupu – kupu di dinding, tak ada buku cerita berjajar rapi di rak buku
miliknya. Aku berjalan menuju ranjang tempat Icha tidur. Sebuah buku gambar
oranye tergeletak di samping krayon yang berserakan di kasur, bahkan bisa kulihat
bercak noda di seprai oranye itu. Sepertinya Icha ketiduran ketika menggambar.
“Ah, kau
masih suka menggambar rupanya, Icha,” Bisikku pelan sembari mengambil buku itu.
Lembar
demi lembar kubuka, seperti biasa aku hanya
menemukan coretan krayon warna – warni yang digoreskan tanpa arah. Apa
lagi yang bisa diharapkan dari seorang anak yang mengalami down-syndrome untuk
menggambar. Itupun sudah karya paling bagus yang bisa dia gambar. Namun, ada
yang berbeda pada halaman terakhir. Terlihat jelas jika Icha mencoba menggambar
lingkaran dengan sempurna, rambut yang indah, gaun seperti princess, dan…
sesuatu di sampingnya seperti sebuah kotak yang gagal aku terjemahkan.
Pagi
ini, aku akan kembali berada satu meja dengan orang orang yang aku rindukan.
Ayah, Ibu, Icha. Icha seperti biasa membuang sendok yang diberikan oleh ibu
sembari berteriak tidak jelas. Ibu membalas dengan teriakan yang tak kalah
nyaring untuk menertibkan perilaku Icha yang buas. Ayah dengan tidak peduli
menyeruput kopi hitamnya sembari berkata “Biarkan saja dia.” Kekacauan itu
sudah biasa terjadi pada keluarga ini bahkan setelah aku kembali pun masih
terjadi.
Dari dentingan sendok yang berdu dengan
piring, bisa dipastikan bahwa mereka belum selesai. Dengan ragu aku menuruni
tangga hendak ikut sarapan bersama mereka. Perlahan aku mendekat. Menunduk.
Takut.
“Ayah..
Ibu.. aku minta maaf karena aku pergi tanpa pamit malam itu. Meninggalkan
kekacauan yang terjadi di rumah begitu saja. Aku masih ingat kala itu hujan
turun sangat deras, Icha mengamuk tak tertahankan, Ibu terlihat kewalahan
mengurus Icha, Ayah.. aku tahu ayah selalu tak peduli dengan ini. Dan
aku…” terdiam sejenak “dengan seenaknya
pergi bersama pacarku yang bejat. Tidak seharusnya aku melakukan itu, iya kan
ibu ? Ibu ? kau mendengarku ?”
Ibu
masih saja beradu teriak dengan Icha yang membangkang tidak mau makan. Ayah melahap
roti lapis yang disediakan tanpa menatapku sekalipun. Apakah mereka semarah itu
padaku sampai mereka menganggap aku tidak ada di sini ? Tidakkah mereka
mendengar suara penyesalanku ini ? Aku seakan berbicara pada angin.
“Kalian
tahu ? pacarku membawaku ke rumahnya, aku disambut baik oleh keluarganya. Aku
dibiarkan tinggal di sana hingga cincin putih bersarang di jari manisku. Dua
bulan kemudian dia menanyakan suatu hal… apakah aku mau menikah dengannya ? Dan
aku menjawab ‘ya’. Aku mencintainya ibu, ayah. Seharusnya kami menikah hari ini.
Namun tadi malam ada seseorang yang datang. Perempuan cantik berperut buncit.
Saat kutanyakan ternyata dia adalah…” Aku menangis sebelum menuntaskan
kalimatku. “Dia adalah korban kebejatan pacarku. Aku kabur saat itu juga. Aku
yakin masih mengingat jalan pulang dan dugaanku benar, aku masih berhasil
sampai di sini. Rumah.”
Tak
ada satupun dari mereka yang menanggapiku, bahkan menoleh pun tidak. Hanya Icha
yang tiba – tiba berhenti teriak dan mulai menangis pelan. Dia menekan – nekan
jarinya ke meja seakan bermian piano. Tangisan pelan tadi berubah menjadi
garang. Icha marah. Dia menekan lebih keras hingga ibu memukul jarinya dengan
sendok. “Diam !”. Icha tidak mau diam, dia tidak akan diam sebelum menyakiti
dirinya sendiri. Baru setelah Icha menyadari ada bercak darah di kukunya dia
berhenti. Icha menatapku dengan tatapan lelah sambil tersenyum. Puas.
Suasana
melenggang sejenak. Icha tidak lagi membuat keributan. Ibu terlihat lelah
setelah beberapa menit mencoba menenangkan Icha. Lalu direngkuh tangan icha
dengan lembut. Ibu menatap lekat mata Icha dengan saksama namun iba. “Ibu minta
maaf.” Kecupan mendarat di rambut Icha. Seperti biasa Icha hanya menggerung tak
tau apa arti yang keluar dari mulutnya. Itulah adikku, dia tidak buta, tidak
tuli, dan tidak bisu. Tapi kenapa dia selalu mengucapkan kata sembarangan yang
tidak ada seorangpun mengerti. Aku tak punya pilihan lagi selain pergi ke
tempat lain. Ruangan senyap milikku dan Icha.
Piano.
Ruangan ini tak berubah sedikitpun.
Aku yakin ibu pasti membersihkan ruangan ini setiap hari. Dapat dipastikan tak
ada debu yang menempel pada piano putih
ini. Dulu, aku dan Icha suka ke tempat ini. Hanya aku yang setia mendengar
dentingan memekik dari bocah itu. Mengerikan. Namun hanya itu yang bisa kulakukan untukknya. Aku
tidak selalu berada di rumah untuk menemaninya. Aku tidak bisa mengajarinya
menggambar, itulah kenapa gambarannya begitu buruk. Satu – satunya keahlianku
adalah memainkan tuts piano, keliling kota bermian piano, bahkan tim orkestraku
hampir pergi ke Amerika. Namun aku tidak tau kelanjutannya setelah aku pergi dari
semuanya. Memilih lelaki bejat dan meninggalkan sesuatu yang sangat berharga.
Keluargaku. Icha.
“Kakak…” Suara Icha terdengar pelan
dari balik pintu.
“Kemarilah, akan kumainkan lagu
kesukaanmu,” Jawabku seraya memainkan tangga nada pertama.
Jemari ini berlari riang di antara
balok putih dan hitam, melompat antara balok satu dengan yang lain. Melihat
kepala Icha bergerak menikmati musikku seakan menjadi pemandangan yang luar
biasa. Aku kembali menjemput diriku. Aku pulang. Ya, aku pulang.
Ibu tidak sengaja melihat Icha
ketika lewat. Segera di renggutnya tubuh mungil Icha ke pelukan.
“Ibu tahu kau pasti rindu kakakmu.
Tapi kakakmu sudah pergi memilih hidupnya. Kenapa kau berpura – pura melihatnya
duduk dan memainkan piano ? Dia tidak di sini. Jangan bertambah gila hanya
karena dia. Ayo ikut ibu saja.”
“Ada… ada… kakak…” Icha mengerang
dan berteriak.
“Tidak Icha. Jangan menjadi gila !”
Dengan paksa Ibu menggendong Icha yang menangis.
“Icha tidak gila Ibu ! Aku di sini
!” Aku berteriak, marah, kenapa Ibu seakan tidak melihatku. Padahal suara piano
ini jelas aku yang memainkannya. Apa ibu tidak mendengar itu ? Semua orang di
rumah ini tidak mengakui kehadiranku di rumah ini. Kenapa ?
Ku tekan tuts dengan sembarangan.
Nadanya terdengar menyedihkan. Aku perlu menyadari apa yang terjadi mulai tadi
malam hingga saat ini dan aku masih tidak mengerti. Kenapa ini bisa terjadi
padaku, kenapa aku menjadi sejahat ini dengan meninggalkan keluargaku tanpa
tahu kalau akhirnya akan seperti ini. Ibu marah, menganggap aku tidak ada dan
tidak akan pernah ada.
“Kakak…”
Suara mungil itu mengehentikanku.
Mungkin tidak ada gunanya memahami semua saat ini. Yang harus aku lakukan
adalah kembali menjadi seorang kakak untuk Icha. Untuk saat ini, hanya Icha
yang menganggap aku ada.
Icha duduk di sampingku. Tangannya
mulai menekan tuts dengan pelan. Sesekali menatapku memperlihatkan senyumnya
yang manis. “Main..”. Kuletakkan jari Icha di atas jariku. Ini yang selalu aku
lakukan dari dulu. Mulai ku tekan balok putih sehingga terdengar dentingan yang
Icha kenal.
Twingkle twingkle little star
How I want there whatch you are
Up above touch would so high
Like a diamond in the sky
TIN… TIN… Tiba tiba klakson merusak
lagu kami. Icha marah karena diganggu, Dia langsung turun dan berlari ke luar
sambil berteriak. Ku lihat ibu dan ayah juga pergi melihat ke luar. Mobil
ambulan berhenti tepat di depan gerbang. Seseorang yang ku kenal turun dengan
tergesa – gesa.
“Ada apa ini ? kau pacar anakku kan
?” Tanya Ibu
“Gawat… Aku menemukan Alea
tergeletak di jalan tadi malam ketika aku mengejarnya. Entah kenapa dia pergi
dari rumahku. Ketika kutemukan dia sudah bercucuran darah. Langsung kubawa Alea
ke rumah sakit namun aku terlambat. Alea sudah tiada.”
Ibu menutup mulutnya sambil menangis. Aku
melihat seorang wanita diturunkan dari ambulan. Terpejam. Pucat. Wanita itu
dimasukkan ke dalam melewatiku yang diam mematung sambil menggandeng tangan
Icha. Itu aku ? Icha menatapku bingung dan perlahan melepaskan tanganku. Icha
berlari menyusul ibu sambil menangis.
“Ibu, ini bukan kakak. Ini bukan
kakak. Kakak di sana. Icha main piano. Kakak ada..”
Ibu memeluk Icha mencoba
menenagkannya. “Icha, kakakmu sudah tiada, siapa yang ada di sini ?” Ibu mencoba
untuk tegar.
“Alea,” Ujar Icha sambil berlari ke
arahku. Icha menunjuk ke arahku ingin membuktikan aku ada disini.
“Tapi kakakmu ada di sini nak. Kau
menunjuk siapa ?”
“Kakak.. ini..” Icha memelukku
namun dia malah terjatuh.
Sepertinya aku mulai mengerti apa
yang terjadi di sini. Aku sudah mati. Itulah kenapa hanya Icha yang mengetahui
kepulanganku. Apa harus seperti ini ? Haruskah aku mati sebelum meminta maaf
pada orang tuaku ? Kenapa aku mati sebelum melihat Icha mampu bermain piano
dengan benar ?
“Benarkah dia ada di sini Icha ?”
Tanya ibu dibarengi anggukan oleh Icha.
Ibu berjalan mendekat mengira –
mengira keberadaanku. Tapi ibu tidak salah, ibu tepat berada di depanku
sehingga aku bisa merasakan ibu menatapku dengan jelas.
“Alea, kau tak seharusnya pergi
waktu itu. Seandainya kau kembali, pintu ini selalu terbuka untukmu. Kau tahu ?
Icha mulai bermain piano dengan benar, seandainya kau bisa mendengarnya mungkin
kau akan sangat senang. Gadisku, selamat jalan. Kami menyayangimu. Tidur yang
tenang ya..”
“Selamat jalan kakak...”
Aku mematung, mencoba sadar akan
apa yang terjadi. Beginikah ? orang yang mati masih diberi kesempatan untuk
mendengar ini ? Aku menyayangi kalian. Ku harap kalian akan selalu menjadi
penerang jalanku. Sekarang aku tahu kemana aku harus pulang. Kembali kepada
Tuhan dan terima kasih atas semuanya.
Komentar
Posting Komentar