Catatan : Cerpen ini agak gimana gitu. Pernah diikutkan di lomba sekolah tapi nggak ada kabar sampai sekarang mungkin nggak lolos. Jadi maaf kalau setelah kalian membaca ini jadi mules, panas dalam, skakit tenggorokan, sariawan, bibir pecar - pecah (Minum lasegar panas dalam jadi segar ) *eh ngelantur.
Malam semakin larut saja, tetapi
entah apa yang membuat gadis ini masih betah menahan kantuk ditemani secangkir
cokelat panas di meja belajar. Tirai jendela sengaja ia buka agar bisa melihat
bulan sebagai teman di tengah gelapnya malam. Mata sembabnya memandang sudut – sudut jalanan berlampu
tanpa ada satupun yang lewat di sana. Dia merasa lebih baik sekarang. Setelah
seharian hujan turun dengan sangat anarkis, membasahi tubuh mungilnya. Sakit.
***
Tiba – tiba tak terasa lagi sakit
akibat hantaman hujan di tubuhnya itu, ketika mendongak…
“ Baaa.. baa ? ” ( Kau siapa ) Tanya
gadis itu pada seorang lelaki yang berada di sampingnya.
Pria yang sangat tampan, berkulit
sawo matang, matanya hitam lekat, tersenyum kepada gadis itu. Tangan kanannya
memegang payung berwarna merah melindungi dirinya dan gadis itu dari dinginnya
hujan.
Tetapi alangkah terkejutnya ketika
pria tersebut mendengar kata yang keluar dari mulut gadis cantik yang di
sampingnya sekarang. Gadis secantik dia tu – li ? bi – su ? Sungguh tak pantas
untuk paras yang cantik, tubuh mungil, serta mata cokelatnya.
“ Aku Alex. Kau ? ” Ternyata namanya
Alex.
“ AA.. ii aaa ” Ucap gadis itu.
Alex menunjukkan gelagat
kebingungan. “ Siapa ? Ai ? ” Gadis itu menggeleng. “ Oh mungkin… Atii ? ”
Gadis itu menggeleng.
Sudah diduga, ini seperti kejadian
sebelumnya. Ketika seseorang mencoba berbicara dengannya, tak akan ada yang mengerti
tentang bahasanya. Menyadari hal itu, gadis tuli sekaligus bisu itu berlari
secepatnya menembus hujan. Namun sayang, larinya tidak begitu cepat. Pria
tampan tadi berhasil menahan tangan gadis itu dengan kuat. Menariknya agar mau
berada satu payung.
“ Kenapa lari ? Aku belun tahu
namamu, kan , ” Ucap Alex
Gadis itu terus menggeleng dan
menangis. Hal itu malah membuat Alex bingung dan tak tahu harus bagaimana. Alex
lalu pergi meninggalkan gadis tadi bersama payung merah miliknya.
“ Sekarang ini milikmu. Simpan baik
baik ya ! ” Ucap Alex lalu berlari dengan cepat menembus hujan yang menyerbu.
Gadis itu berkata dalam hati,
tentunya dengan bahasanya sendiri.
Kenapa
? Apa yang dia katakana tadi ? Apa dia
malaikat ? Konyol. Siapa yang mau berbicara pada gadis yang tuli dan bisu.
Bahkan lelaki baik tadi, dia tidak bisa mengerti namaku. Aku A-ni-sa. Percuma
saja aku menerima payung ini, tubuhku sudah basah. Kalaupun aku membawanya
pulang, apa yang akan terjadi ? Tidak ada.
Tanpa pikir
panjang, Anisa menjatuhkan payung merah pemberian Alex dan kembali merasakan
dingin dan sakit. Lalu lewat 2 orang anak kecil tengah bermain hujan. Mereka
tertawa, mencipratkan air satu sama lain, tangan mereka menengadah merasakan
aliran hujan mengalir di telapak tangan mereka, mereka bertepuk tangan sambil
bernyayi, sungguh menyenangkan.
Tanpa Anisa sadari, tanganya
menengadah mengikuti dua anak kecil tadi, bertepuk tangan sehingga ia merasakan
cipratan air mengenai wajahnya. Anisa menggelengkan kepala, bibirnya bergumam
seakan dia menyanyi. Di tempat itu, di detik itu, Anisa menyadari sesuatu.
Apa
yang aku lakukan ? Apa aku mencoba untuk berbicara seperti pria dan kedua anak
tadi. Bukankah aku ini bisu ? Aku tuli ?Yang orang lain dengar hanya gumaman
tidak jelas yang hanya kumengerti. Untuk apa aku menggelengkan kepala ? Ibu
bilang suara hujan sangat merdu. Tapi aku tidak pernah tahu bagimana itu.Merdu
itu apa ?
Anisa mulai
menangis sejadi – jadinya. Menyalahkan siapa saja yang ia temui tadi dengan
gumaman “ Baa.. baa.. ba..”. Anisa berlari meninggalkan payung merah yang
mungkin sedih karena tak ada yang mau menerimanya. Payung itu terbuang, sama
seperti Anisa.
Malam
ini anisa ada di kamarnya. Hujan juga sudah mereda, bahkan tadi sore sempat ada
garis lengkung warna warni yang terukir di langit. Tentu Anisa tidak tahu apa
itu. Anisa tidak pernah tahu kalau itu namanya pelangi. Sekarang semua sepi,
tak ada suara, seperti apa yang dirasakan Anisa saat ini. Senyap. Anisa juga
sendiri di kamarnya, tak perlu ia berbicara dengan “ bahasa ”yang menyakitkan
hatinya. Setidaknya dia tidak sendiri, ada bulan yang tidak ditakdirkan untuk
mendengar dan berbicara. Ya Tuhan… jika aku menangis lagi, apa kau
akan marah ?
Karya : Putri Nur Azizah
put kurang akeh :3
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusTerima kasih sudah berkunjung :)Versi panjang insyaallah menyusul
HapusLagi putt
BalasHapusTunggu postingan selanjutnya Dysa :) Makasih udah berkunjung :)
Hapus