Langsung ke konten utama

Manusia Manusia Kuat

       Tak ada lagi yang perlu diucap, kota yang indah di pelupuk mata. Ketika secarik cahaya matahari menembus tirai, membangunkan mata – mata terpejam dari pulau mimpi. Bayang – bayang gedung, pohon kelapa, tiang listrik, kabel – kabel telepon tampak berpadu indah di jalanan. Lampu – lampu jalanan sudah mulai dimatikan, para petugas berbaju oranye sudah rapih dengan sepatu boot dan sapu, membersihkan dedaunan kering dari aspal. Daun – daun masih basah bekas diguyur hujan semalaman, rumput – rumput akan terasa sangat dingin ketika menyentuh kaki. Sejuk.
           Sebentar lagi matahari menunjukkan seluruh cahayanya, jalanan yang tadinya lengang akan seketika berubah penuh sesak, banyak debu, dan asap yang tak akan bisa dihindari. Kendaraan plat kuning mulai berjajar di sepanjang jalan, para bapak – bapak itu berteriak dari dalam, bertanya pada setiap orang yang lewat. Anak – anak sekolah jalan bergerombol di trotoar. Saling bergurau, menarik tas teman, salah satu dari mereka melompat meraih ranting basah sehingga airnya jatuh mengenai temannya, lalu mereka tertawa dan saling mengejar. Ya, beginilah keadaan kota ketika sudah bangun.  
            Bersiaplah melihat sesuatu yang lain, hal yang yang membuat napas terhela panjang. Tempat yang penuh sesak dan kumuh. Batu – batu koral tersebar rata membentuk jalan setapak, sepertinya...
Atap seng mulai menambah koleksi lubang sehingga cahaya matahari menyerbu dari berbagai celah, lantai – lantai basah dan kotor, lumut di dinding mulai menghitam. Namun tak ada yang perlu disesali, anggap saja ini adalah istana. Dipenuhi oleh bunga – bunga hijau indah. Anggap saja begitu, setidaknya masih ada yang bisa disyukuri.
            “Ibu, aku berangkat!” Arif berseru sambil melepas kawat pengait pintu kayu rumahnya. Tak lupa ia mematikan lampu bohlam sebagai sumber cahaya satu – satunya, hiduplah dengan hemat, setidaknya hal itu yang selalu ia pegang teguh.
            “Belajar yang rajin, biar bisa jadi presiden. Nanti kau urus orang – orang seperti kita dengan baik.” Suara Ibu Tun menggema dari balik tabir.
            “Melanjutkan sekolah-pun tidak, bagaimana jadi presiden. Aku masih harus sekolah lebih tinggi biar jadi presiden.”
            Tabir dibuka dengan kasar, terlihat wanita paruh baya memakai daster cokelat menatap anaknya dengan tajam. “Tidak lanjut sekolah? kau pikir ibu bekerja untuk apa? jangan membuat keringat ibumu ini sia – sia. Sana cepat berangkat dan belajar dengan baik!” Arif segera berlari menjauh, jika ibunya sudah memegang sapu itu artinya akan ada lukisan merah di kulitnya.
            Jajaran besi kotak panjang mulai menujukkan karat, bergesekan dengan roda kereta setiap harinya, terkena panas matahari dan juga dinginnya malam. Peron stasiun masih sepi, toko – toko tua di sekelilingnya mulai mematikan lampu, membuka pintu kayu, menata barang, memastikan semua siap sebelum melayani pembeli.
            Arif dengan gesit melompat tembok pembatas stasiun. Akhirnya dia berada di tempat lain yang lebih lapang dari tempat tinggalnya yang penuh sesak. Sekolahan yang bahkan tidak memiliki lebih dari lima belas murid di setiap kelasnya. Mereka semua sama seperti arif, berambut merah, kulit kusam, sepatu tambalan dimana – mana, baju mereka juga penuh noda kekuningan menandakan sudah lama dipakai. Namun setidaknya mereka ada di tempat ini, tempat yang memberikan harapan dan semangat untuk merubah hidup. Semoga...
***
            “Kenapa lagi? ada yang hilang?”
            “Seperti biasa, mungkin mereka lupa mengembalikan.”
            “Sudahlah, mungkin orang – orang itu sudah menjualnya di pelataran stasiun.”
            “Syukurlah kalau begitu, setidaknya mereka mendapat uang.”
            “Hei, sampai kapan kau akan menjadi Kartini untuk orang – orang itu?”
            “Sampai kapan? aku tidak akan berhenti menjadi kartini untuk mereka,” jawab Helen sembari memasukkan beberapa buku ke dalam kardus.
            Buku cerita bergambar, buku sains, novel, komik, semua tersusun rapi dalam sebuah kardus cokelat dengan ikatan tali warna biru di sekelilingnya. Helen akan pergi lagi ke sana, tempat padat dan kumuh di pinggir rel kereta. Bertemu dengan orang – orang yang ingin menyusun tangga menuju jendela dunia yang begitu tinggi. Orang seperti mereka memang tidak bisa mencapai ujung dunia, namun tak ada halangan bagi mereka untuk menyusun tangga lalu membuka jendela dunia dengan perlahan.
            “Aku pergi dulu, terima kasih dengan diskon tiga puluh persen –nya,” ujar Helen pada si pedagang, Roni namanya.
            Helen meletakkan kardus itu di bagian belakang motor matic merah miliknya, tentunya ia memastikan kardus telah terikat kuat dengan besi motor sehingga tidak jatuh. Lalu ia segera memakai helm hitam dan pergi dari tempat tersebut.
            “Semoga mereka mencuri bukumu lagi, lalu kau memborong buku di tokoku!” Teriak Roni sambil terkekeh.
            “Anak muda itu semangat sekali melakukan kegiatan amal seperti itu, huh aku jadi kasihan kepadanya,” ucap Roni pada diri sendiri.
            Celoteh ibu – ibu riuh memadati pinggiran rel kereta, menceritakan anaknya yang ingin lanjut sekolah, dagangannya tidak laku, dan berbagai topik yang menarik untuk dibicarakan. Namun seketika kegitan mereka terhenti dengan kedatangan seseorang.
            “Ibu – ibu ada yang mau membaca?” tanya Helen sopan. Ia membawa kardus berisi buku itu di dekapan, berusaha agar tidak jatuh.
            “Kau datang lagi rupanya, ada buku baru?” tanya salah seorang ibu – ibu yang kira – kira berumur tiga puluh-an.
            “Selalu ada buku baru tiap rabu, baiklah ayo kita ke tenda baca!”
            Sebuah tenda berwarna biru terletak di jajaran rumah kayu lainnya, beralaskan tikar anyam berwarna hijau. Tempat yang tidak luas itu kini telah terisi sesak oleh anak – anak yang tidak ke sekolah dan juga ibu – ibu yang tidak bekerja. Seharusnya ada tempat yang lebih lapang dan rapi Anak – anak kecil berebut buku, riuh ibu – ibu menggosip, dan Helen yang dengan sabar mengajari orang – orang tuna-aksara lainnya. Meskipun hanya bermodalkan papan tulis putih kecil, setidaknya mereka bisa mengenal alfabet.
***
            Stasiun dipenuhi oleh orang – orang berjaket, orang menenteng koper, mahasiswa, bule juga ada. Disinilah tempat kedua Arif setelah sekolah. Masih dengan seragam lusuhnya, ia berkeliling menghampiri orang – orang di peron, menawarkan berbagai macam buku. Jika ada orang yang tertarik untuk membeli maka ia akan mendapatkan uang. Arif paham mencuri itu buruk, tapi tanpa mencuri buku, ia tidak akan dapat uang. Selama ia tidak ketahuan, ia anggap semua masih baik – baik saja.
            “Berapa harganya?”
            “Sepuluh ribu,” jawab Arif
            “Buku seperti ini sepuluh ribu? lima ribu saja lah, sepertinya ini buku bekas,” kata si pembeli sambil membolak– balik buku yang ia pegang.
            “Maaf belum bisa,” kata Arif lagi
            “Ya sudah, tujuh ribu bagaimana?”
            Kening Arif berkerut menandakan ia tengah berpikir. “Ya sudah, tujuh ribu tidak apa – apa,” katanya kemudian. Lalu orang itu memberikan selembar uang bergambar Tuanku Imam Bonjol dan Pangeran Antasari pada Arif.
            Akhirnya ia berhasil mendapatkan uang dari hasil penjualan buku curian. Lalu kini saatnya menuju tenda baca dan melakukan hal yang sama. Arif sangat yakin kalau Helen juga tengah berada di tenda baca dengan buku – buku baru. Ia hanya bisa mencuri buku seminggu sekali lantaran Helen hanya datang setiap rabu, jadi tidak setiap hari Arif bisa mendapatkan uang.
            Arif menyelinap tenda baca sambil mengendap – endap, ia memastikan semua orang sibuk dengan buku masing – masing, ia berpura – pura memilih buku bacaan  sambil terus memastikan ia lolos dari pengawasan Helen. Tapi tiba – tiba seseorang menepuk pudaknya.
            “Kau sudah pulang rupanya, bagaimana sekolahmu?”
            Dengan tangan masih menyembunyikan buku di balik baju, Arif menoleh ke orang yang ada di belakangnya.
            “Eh Ibu, sekolahku? ehm... lanacar,” jawabnya gugup.
            “Kenapa kau gugup? sana ambil nasi bungkus di rumah dan jual di stasiun! saat ini banyak orang yang mencari makan siang,” perintah Ibu Tun.
            “Iya aku pulang sekarang,” ucap Arif dan tanpa ia ketahui ada Helen yang mengikuti.
            Helen tiba di depan rumah berpintu kayu yang mulai lapuk, tanpa jendela, lubang kecil dimana – mana, tidak jauh berbeda dengan beberapa rumah di sampingnya.
            “Negeri ini punya banyak cerita rupanya. Mereka harus tinggal di tempat seperti ini setiap hari. Sedangkan di luar sana, orang memakai jas naik turun mobil pribadi, menghamburkan uang, orang – orang ini bahkan butuh perjuangan untuk mendapat selembar uang lima ribu.”
            KREK... Betapa terkejutnya Arif ketika mengetahui ada Helen di hadapannya. Sedangkan dua buah buku dari tenda baca tergeletak di atas nampan nasi bungkus.
            “Hai Arif,” sapa Helen.
            “Eh...hai juga.. hmm aku.. aku..” terpotong.
            “Apa kau tahu jika mencuri itu tidak baik?”
            Ia tertangkap basah, padahal selama ini ia selalu bersembunyi dan pergi tanpa jejak. Namun kali ini ia tidak melakukan aksinya dengan mulus.
            “Apa ibumu tahu?” tanya Helen lagi. Sedangkan Arif hanya bisa menggeleng.
            Helen membungkuk, mencoba menyejajarkan tinggi dengan Arif, ia menyentuh bahu Arif, merasakan beban berat yang selama ini Arif rasakan, Helen mengerti apa alasan Arif melakukannya, ia juga sudah mengetahui sejak awal jika Arif yang menyebabkan buku – buku selalu berkurang. Namun ia memilih diam, ada perasaan kasihan. Namun kali ini, memang saatnya mengajarkan Arif sesuatu yang baik.
            “Ini!” satu buku diletakkan di atas nampan nasi. “untuk yang terakhir kali!” lanjutnya.
            Kali ini Helen membiarkan Arif mendapatkan satu buku lagi untuk dijual. Bukan untuk memberi gambaran bahwa ia setuju dengan apa yang telah Arif lakukan, namun untuk memberi pelajaran bahwa mencuri itu buruk. Lagi pula Helen melakukan ini untuk membantu orang – orang mendapat beberapa pengetahuan, mengajari mereka, dan juga sedikit bersedekah.
            Seperti biasa, suasana stasiun semakin ramai di siang hari seiring dengan jadwal keberangkatan kereka pada pukul satu siang. Awalnya Helen berniat membantu Arif menawarkan nasi bungkus, namun dilarang oleh Arif. Jadi ia hanya bisa mengawasi dari tempat duduk.
            “Harganya dua puluh ribu,” kata Arif pada seorang pria yang membeli buku.
            “Kenapa mahal sekali? Biasanya ini sepuluh ribu,” tawar pria itu.
            “Tidak boleh kalau sepuluh ribu, delapan belas deh.”
            “Wah masih mahal, ya sudah lima belas ribu.”
            “Belum boleh...”
            Melihat hal itu, Helen datang menghampiri.
            “Permisi, mas nya mau beli buku ini ya? yang ini saya membelinya tiga puluh lima ribu. Jika anda membeli dengan harga lima belas ribu maka anak ini malah rugi.”
            “Ah, ya sudah berapa? dua puluh ribu? oke!” pria tadi memberikan selembar uang berwarna hijau pada Arif.
            “Terima kasih,” ucap Arif sebelum orang itu pergi.
            ‘Anak ini bahkan belum bisa berjualan dengan baik.’ ucap Helen dalam hati.
            Nampan hijau sudah kosong. Dari pinggir rel kereta, Arif menghitung lembaran – lembaran uang dengan hati – hati, seakan tak mau ada yang terlewat. Di sampingnya, Helen masih duduk setia menemani Arif, ia ikut senang dengan uang yang Arif peroleh hari ini.
            “Berapa uang yang kau dapat hari ini?” tanya Helen, selalu terukir senyuman manis ketika Helen berbicara, cantik bagaikan bunga.
            “Banyak sekali, pasti karena tambahan buku yang...” kata – kata Arif terhenti, ia merasa tidak enak karena telah mencuri buku dari tenda baca untuk dijual.
            “Maafkan aku, aku terpaksa melakukannya.”
            “Aku tahu kau terpaksa melakukannya, tapi bukankah calon presiden tidak akan mencuri?”
 Arif menunduk menyesal. Ia tidak pernah menyangka kalau akan tertangkap, “Aku tidak akan menjadi presiden.”
            “Hmm? kenapa tidak?”
            “Aku tidak kaya, tidak pintar, dan aku juga seorang penjahat, aku pencuri.”
            “Dan juga orang yang pesimis.” tambah Helen.
            “Ya, yang itu juga.”
          “Terkadang ada hal yang membuatku bingung, jika aku tidak di sini apakah ada orang lain yang melakukan ini, datang dan membawa buku – buku, membangun tenda. Banyak sekali anak – anak yang tidak bisa bermimpi setinggi yang ia mau. Tapi kenapa hanya aku?”
          “Apa kakak bosan ? kakak marah karena aku mencuri buku ? apa kakak akan berhenti mengunjungi kami ?” tanya Arif bertubi – tubi.
            “Aku akan terus di sini, tapi ada syarat!”
            “Apa itu?”
        “Berhenti mencuri dan belajarlah dengan giat. Akan kutunggu kau mengejar mimpimu, meski bukanlah menjadi sorang presiden. Kaulah yang nantinya membantu para keluargamu di sini, mencari hidup yang lebih baik.”
            Jam mulai menuju angka tiga, terdengar suara sirine kedatangan kereta yang akan datang dari arah timur di jalur dua. Orang – orang yang semula duduk santai di peron segera bergegas menuju jalur dua. Anak – anak digendong agar terhindar dari desakan calon penumpang. Beberapa orang menenteng koper besar mereka, mempererat ransel, bertanya pada petugas, kebingungan, namun hal itu terlihat normal di stasiun.
            “Megapa kakak mau melakukan ini?”
          Semula Arif ragu untuk menanyakan, namun sejak dulu ia selalu penasaran dengan orang yang selalu dipanggil Kartini oleh orang – orang di pinggir rel kereta.
           “Karena aku ingin negeri ini bangun. Sekian lama Indonesia telah tertidur, berhenti pada suatu titik tanpa adanya keinginan untuk lebih baik. Orang – orang di tempatmu, apakah mereka peduli terhadap pendidikan mereka ? bahkan masih banyak yang tidak bisa membaca. Setidaknya kau beruntung, bisa mengenyam pendidikan, sedangkan temanmu yang lain, mereka tidak bisa. Bahkan mereka juga melakukan pekerjaan yang tidak baik, berjudi, mencuri, perlahan aku ingin menuntaskan hal itu. Bukankah itu yang harus dilakukan jika ingin membangun negeri ini jadi lebih baik?”
            “Bagiku, kakak memanglah Kartini bagi kami. Lilin kecil yang berbagi cahaya dengan kami. Kumohon tetaplah menjadi Kartini dan lilin kecil kami.”
            Helen tersenyum mendengarnya.
            “Aku akan tetap menjadi lilin kalian.”
            Sore ini, Helen meninggalkan tenda baca. Ibu – ibu sudah masuk ke rumah dari tadi, anak – anak bermain di pinggir rel kereta, ketika kereta lewat mereka akan bersorak sambil melambai ke arah penumpang. Helen menikmati itu semua, mencoba belajar dari mereka. Setiap hari menempuh kehidupan pahit. Mengingat bagimana antusiasme mereka datang ke tenda baca. Setidaknya mereka telah berusaha menjadi lebih kuat, menjadi berguna bagi negeri ini. Setidaknya ada secercah harapan kecil dalam diri mereka untuk berubah menjadi lebih baik. Semoga negeri ini berhenti menyalahkan orang seperti mereka, yang juga tidak pernah berharap mendapat kehidupan pahit.
Hidup itu bagaikan pelangi, juga bagaikan kopi dan gula, atau bahkan bagaikan langit dan bumi. Tak ada alasan bagi seseorang untuk berhenti berjuang dan tetaplah menjadi manusia – manusia yang kuat.



By : Putri Nur Azizah 
       14 Februari 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa SMA Banyak Tugas ?

Hai para pengunjung...  krik krik  Hari ini saya akan membahas mengenai apa yang saya alami d SMA dan mungkn teman - teman di luar sana juga mengalami. Atau mungkin bertanya - tanya seperti saya. Saya sekarang masih kelas 10 di SMA N 1 Trenggalek. Perjuangan masuk di SMA N 1 Trenggalek lumayan berat tapi beruntung bisa masuk lewat jalur Olimpiade. Entah keajaiban apa saya bisa masuk 15 besar dari ratusan pendaftar. Mungkin karena membaca Yasin setiap hari dan tentunya belajar dong ya... Katanya sih, SMA itu asik, berkesan, dan tentunya sangat berbeda dengan SMP. Memang saya mulai merasakan dari teman. Teman - teman di SMA itu asik asik arena udah gede kali ya, pikiran juga udah nyambung dan lebih mandiri. Kalau ada kegiatan apa gitu pasti ada yang mengkoordinir, nggak kayak SMP yang kalang kabut. Dan di SMA juga saya merasakan jadi pemenang, Karena di SMP sebelumnya kelas saya tidak pernah mendapat juara di classmeeting atau yang lainnya. Dan senangnya saya ikut berpartisipa

FIRST LOVE ( SUGA BTS )

First Love #Suga Fanfiction# Nae gieogui guseok Han kyone jaribaneun galsaek piano Eoril jok jip anui guseok Han kyone jarijabeun galsek piano The corner of my memory A brown piano settled on one side In the corner of my childhood hoouse A brown piano settled on one side ~Suga BTS : First Love~ Kesuksesan boyband Bangtan Sonyeondan a.k.a BTS sudah tidak perlu diragukan lagi, penggemar mereka tidak hanya dari Korea saja, melainkan juga dari berbagai negara di luar sana. Apalagi mereka juga baru saja melakukan comeback-nya dan sebentar lagi BTS akan melakukan tour untuk promosi album sekaligus menghibur Army yang sudah menunggu di luar sana. ‘Lagu itu sangat menyetuh sekali, aku seakan tahu apa yang ia rasakan’ ~@princess09~ ‘Dengarkan desahan nafasnya yang begitu sexy, oh Tuhan... ‘ ~@suga’swife~ ‘Aku penasaran siapa fisrt love nya’ ~@istrisugadariindonesia~  ‘Aku pikir dia akan bernyanyi di lagu ini, ternyata dia tetap istiqomah dengan rap-ny

LO Amatiran di Debate Competition

Hai pengunjung... krik..krik.. Akhirnya bisa kembali ngeblog lagi. Setelah vakum lebih dari 2 minggu persiapan sekaligus UKK. Dan yang menyakitkan lagi ketika lihat daftar statistik pengunjungnya semakin menurun. Hiks... tapi nggak papa suetelh ini pasti banyak lagi.  Jadi hari jumat tanggal 20 lalu ada debate competition di kabupaten. Acara itu buat memperingati 100 hari bupati Trenggalek ( Pak Emil ) menjabat sebagai bupati. Nah, kan banyak kegiatan yang diadakan ada pesta rakyat, pensi, letto band, lampion, marcing band, dan entah apalah apalah itu lainnya. Parahh kegiatannya pas SMA lagi UKK. Kok jadi ngomongin itu ya, kan mau nyeritain pengalaman jadi LO ( Liaison officer ). Malah nggak cocok sama judulnya.  Oke lets start right now ! Saya ini kan tergabung sebagai speech candidate di sekolah saya, sebenarnya sih disuruh pindah haluan ke debate tapi nanggung udah sampai sini mau belajar debate takut udah telat. Lagian debate juga susah sih !  Ada 25 sekolah