Tak ada lagi yang perlu diucap, kota yang indah di pelupuk
mata. Ketika secarik cahaya matahari menembus tirai, membangunkan mata – mata
terpejam dari pulau mimpi. Bayang – bayang gedung, pohon kelapa, tiang listrik,
kabel – kabel telepon tampak berpadu indah di jalanan. Lampu – lampu jalanan
sudah mulai dimatikan, para petugas berbaju oranye sudah rapih dengan sepatu
boot dan sapu, membersihkan dedaunan kering dari aspal. Daun – daun masih basah
bekas diguyur hujan semalaman, rumput – rumput akan terasa sangat dingin ketika
menyentuh kaki. Sejuk.
Sebentar
lagi matahari menunjukkan seluruh cahayanya, jalanan yang tadinya lengang akan
seketika berubah penuh sesak, banyak debu, dan asap yang tak akan bisa
dihindari. Kendaraan plat kuning mulai berjajar di sepanjang jalan, para bapak
– bapak itu berteriak dari dalam, bertanya pada setiap orang yang lewat. Anak –
anak sekolah jalan bergerombol di trotoar. Saling bergurau, menarik tas teman,
salah satu dari mereka melompat meraih ranting basah sehingga airnya jatuh
mengenai temannya, lalu mereka tertawa dan saling mengejar. Ya, beginilah
keadaan kota ketika sudah bangun.
Bersiaplah
melihat sesuatu yang lain, hal yang yang membuat napas terhela panjang. Tempat
yang penuh sesak dan kumuh. Batu – batu koral tersebar rata membentuk jalan
setapak, sepertinya...
Atap seng mulai menambah koleksi lubang
sehingga cahaya matahari menyerbu dari berbagai celah, lantai – lantai basah
dan kotor, lumut di dinding mulai menghitam. Namun tak ada yang perlu disesali,
anggap saja ini adalah istana. Dipenuhi oleh bunga – bunga hijau indah. Anggap
saja begitu, setidaknya masih ada yang bisa disyukuri.
“Ibu, aku
berangkat!” Arif berseru sambil melepas kawat pengait pintu kayu rumahnya. Tak
lupa ia mematikan lampu bohlam sebagai sumber cahaya satu – satunya, hiduplah
dengan hemat, setidaknya hal itu yang selalu ia pegang teguh.
“Belajar yang
rajin, biar bisa jadi presiden. Nanti kau urus orang – orang seperti kita
dengan baik.” Suara Ibu Tun menggema dari balik tabir.
“Melanjutkan
sekolah-pun tidak, bagaimana jadi presiden. Aku masih harus sekolah lebih
tinggi biar jadi presiden.”
Tabir
dibuka dengan kasar, terlihat wanita paruh baya memakai daster cokelat menatap
anaknya dengan tajam. “Tidak lanjut sekolah? kau pikir ibu bekerja untuk apa? jangan
membuat keringat ibumu ini sia – sia. Sana cepat berangkat dan belajar dengan
baik!” Arif segera berlari menjauh, jika ibunya sudah memegang sapu itu artinya
akan ada lukisan merah di kulitnya.
Jajaran
besi kotak panjang mulai menujukkan karat, bergesekan dengan roda kereta setiap
harinya, terkena panas matahari dan juga dinginnya malam. Peron stasiun masih
sepi, toko – toko tua di sekelilingnya mulai mematikan lampu, membuka pintu
kayu, menata barang, memastikan semua siap sebelum melayani pembeli.
Arif dengan
gesit melompat tembok pembatas stasiun. Akhirnya dia berada di tempat lain yang
lebih lapang dari tempat tinggalnya yang penuh sesak. Sekolahan yang bahkan
tidak memiliki lebih dari lima belas murid di setiap kelasnya. Mereka semua
sama seperti arif, berambut merah, kulit kusam, sepatu tambalan dimana – mana,
baju mereka juga penuh noda kekuningan menandakan sudah lama dipakai. Namun
setidaknya mereka ada di tempat ini, tempat yang memberikan harapan dan
semangat untuk merubah hidup. Semoga...
***
“Kenapa
lagi? ada yang hilang?”
“Seperti
biasa, mungkin mereka lupa mengembalikan.”
“Sudahlah,
mungkin orang – orang itu sudah menjualnya di pelataran stasiun.”
“Syukurlah
kalau begitu, setidaknya mereka mendapat uang.”
“Hei,
sampai kapan kau akan menjadi Kartini untuk orang – orang itu?”
“Sampai
kapan? aku tidak akan berhenti menjadi kartini untuk mereka,” jawab Helen
sembari memasukkan beberapa buku ke dalam kardus.
Buku cerita
bergambar, buku sains, novel, komik, semua tersusun rapi dalam sebuah kardus
cokelat dengan ikatan tali warna biru di sekelilingnya. Helen akan pergi lagi
ke sana, tempat padat dan kumuh di pinggir rel kereta. Bertemu dengan orang –
orang yang ingin menyusun tangga menuju jendela dunia yang begitu tinggi. Orang
seperti mereka memang tidak bisa mencapai ujung dunia, namun tak ada halangan
bagi mereka untuk menyusun tangga lalu membuka jendela dunia dengan perlahan.
“Aku pergi dulu,
terima kasih dengan diskon tiga puluh persen –nya,” ujar Helen pada si
pedagang, Roni namanya.
Helen
meletakkan kardus itu di bagian belakang motor matic merah miliknya, tentunya
ia memastikan kardus telah terikat kuat dengan besi motor sehingga tidak jatuh.
Lalu ia segera memakai helm hitam dan pergi dari tempat tersebut.
“Semoga
mereka mencuri bukumu lagi, lalu kau memborong buku di tokoku!” Teriak Roni
sambil terkekeh.
“Anak muda
itu semangat sekali melakukan kegiatan amal seperti itu, huh aku jadi kasihan
kepadanya,” ucap Roni pada diri sendiri.
Celoteh ibu
– ibu riuh memadati pinggiran rel kereta, menceritakan anaknya yang ingin
lanjut sekolah, dagangannya tidak laku, dan berbagai topik yang menarik untuk
dibicarakan. Namun seketika kegitan mereka terhenti dengan kedatangan
seseorang.
“Ibu – ibu
ada yang mau membaca?” tanya Helen sopan. Ia membawa kardus berisi buku itu di
dekapan, berusaha agar tidak jatuh.
“Kau datang
lagi rupanya, ada buku baru?” tanya salah seorang ibu – ibu yang kira – kira
berumur tiga puluh-an.
“Selalu ada
buku baru tiap rabu, baiklah ayo kita ke tenda baca!”
Sebuah
tenda berwarna biru terletak di jajaran rumah kayu lainnya, beralaskan tikar
anyam berwarna hijau. Tempat yang tidak luas itu kini telah terisi sesak oleh
anak – anak yang tidak ke sekolah dan juga ibu – ibu yang tidak bekerja. Seharusnya
ada tempat yang lebih lapang dan rapi Anak – anak kecil berebut buku, riuh ibu
– ibu menggosip, dan Helen yang dengan sabar mengajari orang – orang tuna-aksara
lainnya. Meskipun hanya bermodalkan papan tulis putih kecil, setidaknya mereka
bisa mengenal alfabet.
***
Stasiun
dipenuhi oleh orang – orang berjaket, orang menenteng koper, mahasiswa, bule
juga ada. Disinilah tempat kedua Arif setelah sekolah. Masih dengan seragam
lusuhnya, ia berkeliling menghampiri orang – orang di peron, menawarkan berbagai
macam buku. Jika ada orang yang tertarik untuk membeli maka ia akan mendapatkan
uang. Arif paham mencuri itu buruk, tapi tanpa mencuri buku, ia tidak akan
dapat uang. Selama ia tidak ketahuan, ia anggap semua masih baik – baik saja.
“Berapa
harganya?”
“Sepuluh
ribu,” jawab Arif
“Buku
seperti ini sepuluh ribu? lima ribu saja lah, sepertinya ini buku bekas,” kata
si pembeli sambil membolak– balik buku yang ia pegang.
“Maaf belum
bisa,” kata Arif lagi
“Ya sudah,
tujuh ribu bagaimana?”
Kening Arif
berkerut menandakan ia tengah berpikir. “Ya sudah, tujuh ribu tidak apa – apa,”
katanya kemudian. Lalu orang itu memberikan selembar uang bergambar Tuanku Imam
Bonjol dan Pangeran Antasari pada Arif.
Akhirnya ia
berhasil mendapatkan uang dari hasil penjualan buku curian. Lalu kini saatnya
menuju tenda baca dan melakukan hal yang sama. Arif sangat yakin kalau Helen
juga tengah berada di tenda baca dengan buku – buku baru. Ia hanya bisa mencuri
buku seminggu sekali lantaran Helen hanya datang setiap rabu, jadi tidak setiap
hari Arif bisa mendapatkan uang.
Arif
menyelinap tenda baca sambil mengendap – endap, ia memastikan semua orang sibuk
dengan buku masing – masing, ia berpura – pura memilih buku bacaan sambil terus memastikan ia lolos dari
pengawasan Helen. Tapi tiba – tiba seseorang menepuk pudaknya.
“Kau sudah
pulang rupanya, bagaimana sekolahmu?”
Dengan tangan
masih menyembunyikan buku di balik baju, Arif menoleh ke orang yang ada di
belakangnya.
“Eh Ibu,
sekolahku? ehm... lanacar,” jawabnya gugup.
“Kenapa kau
gugup? sana ambil nasi bungkus di rumah dan jual di stasiun! saat ini banyak orang
yang mencari makan siang,” perintah Ibu Tun.
“Iya aku
pulang sekarang,” ucap Arif dan tanpa ia ketahui ada Helen yang mengikuti.
Helen tiba
di depan rumah berpintu kayu yang mulai lapuk, tanpa jendela, lubang kecil
dimana – mana, tidak jauh berbeda dengan beberapa rumah di sampingnya.
“Negeri ini
punya banyak cerita rupanya. Mereka harus tinggal di tempat seperti ini setiap
hari. Sedangkan di luar sana, orang memakai jas naik turun mobil pribadi,
menghamburkan uang, orang – orang ini bahkan butuh perjuangan untuk mendapat
selembar uang lima ribu.”
KREK...
Betapa terkejutnya Arif ketika mengetahui ada Helen di hadapannya. Sedangkan
dua buah buku dari tenda baca tergeletak di atas nampan nasi bungkus.
“Hai Arif,”
sapa Helen.
“Eh...hai
juga.. hmm aku.. aku..” terpotong.
“Apa kau tahu
jika mencuri itu tidak baik?”
Ia
tertangkap basah, padahal selama ini ia selalu bersembunyi dan pergi tanpa
jejak. Namun kali ini ia tidak melakukan aksinya dengan mulus.
“Apa ibumu
tahu?” tanya Helen lagi. Sedangkan Arif hanya bisa menggeleng.
Helen
membungkuk, mencoba menyejajarkan tinggi dengan Arif, ia menyentuh bahu Arif,
merasakan beban berat yang selama ini Arif rasakan, Helen mengerti apa alasan
Arif melakukannya, ia juga sudah mengetahui sejak awal jika Arif yang menyebabkan
buku – buku selalu berkurang. Namun ia memilih diam, ada perasaan kasihan.
Namun kali ini, memang saatnya mengajarkan Arif sesuatu yang baik.
“Ini!” satu
buku diletakkan di atas nampan nasi. “untuk yang terakhir kali!” lanjutnya.
Kali ini
Helen membiarkan Arif mendapatkan satu buku lagi untuk dijual. Bukan untuk
memberi gambaran bahwa ia setuju dengan apa yang telah Arif lakukan, namun
untuk memberi pelajaran bahwa mencuri itu buruk. Lagi pula Helen melakukan ini
untuk membantu orang – orang mendapat beberapa pengetahuan, mengajari mereka,
dan juga sedikit bersedekah.
Seperti
biasa, suasana stasiun semakin ramai di siang hari seiring dengan jadwal
keberangkatan kereka pada pukul satu siang. Awalnya Helen berniat membantu Arif
menawarkan nasi bungkus, namun dilarang oleh Arif. Jadi ia hanya bisa mengawasi
dari tempat duduk.
“Harganya
dua puluh ribu,” kata Arif pada seorang pria yang membeli buku.
“Kenapa
mahal sekali? Biasanya ini sepuluh ribu,” tawar pria itu.
“Tidak
boleh kalau sepuluh ribu, delapan belas deh.”
“Wah masih
mahal, ya sudah lima belas ribu.”
“Belum
boleh...”
Melihat hal
itu, Helen datang menghampiri.
“Permisi,
mas nya mau beli buku ini ya? yang ini saya membelinya tiga puluh lima ribu.
Jika anda membeli dengan harga lima belas ribu maka anak ini malah rugi.”
“Ah, ya
sudah berapa? dua puluh ribu? oke!” pria tadi memberikan selembar uang berwarna
hijau pada Arif.
“Terima
kasih,” ucap Arif sebelum orang itu pergi.
‘Anak ini bahkan belum bisa berjualan dengan
baik.’ ucap Helen dalam hati.
Nampan
hijau sudah kosong. Dari pinggir rel kereta, Arif menghitung lembaran –
lembaran uang dengan hati – hati, seakan tak mau ada yang terlewat. Di
sampingnya, Helen masih duduk setia menemani Arif, ia ikut senang dengan uang
yang Arif peroleh hari ini.
“Berapa
uang yang kau dapat hari ini?” tanya Helen, selalu terukir senyuman manis
ketika Helen berbicara, cantik bagaikan bunga.
“Banyak
sekali, pasti karena tambahan buku yang...” kata – kata Arif terhenti, ia
merasa tidak enak karena telah mencuri buku dari tenda baca untuk dijual.
“Maafkan
aku, aku terpaksa melakukannya.”
“Aku tahu
kau terpaksa melakukannya, tapi bukankah calon presiden tidak akan mencuri?”
Arif
menunduk menyesal. Ia tidak pernah menyangka kalau akan tertangkap, “Aku tidak
akan menjadi presiden.”
“Hmm?
kenapa tidak?”
“Aku tidak
kaya, tidak pintar, dan aku juga seorang penjahat, aku pencuri.”
“Dan juga
orang yang pesimis.” tambah Helen.
“Ya, yang
itu juga.”
“Terkadang
ada hal yang membuatku bingung, jika aku tidak di sini apakah ada orang lain
yang melakukan ini, datang dan membawa buku – buku, membangun tenda. Banyak
sekali anak – anak yang tidak bisa bermimpi setinggi yang ia mau. Tapi kenapa
hanya aku?”
“Apa kakak
bosan ? kakak marah karena aku mencuri buku ? apa kakak akan berhenti
mengunjungi kami ?” tanya Arif bertubi – tubi.
“Aku akan
terus di sini, tapi ada syarat!”
“Apa itu?”
“Berhenti
mencuri dan belajarlah dengan giat. Akan kutunggu kau mengejar mimpimu, meski
bukanlah menjadi sorang presiden. Kaulah yang nantinya membantu para keluargamu
di sini, mencari hidup yang lebih baik.”
Jam mulai
menuju angka tiga, terdengar suara sirine kedatangan kereta yang akan datang
dari arah timur di jalur dua. Orang – orang yang semula duduk santai di peron
segera bergegas menuju jalur dua. Anak – anak digendong agar terhindar dari
desakan calon penumpang. Beberapa orang menenteng koper besar mereka,
mempererat ransel, bertanya pada petugas, kebingungan, namun hal itu terlihat
normal di stasiun.
“Megapa
kakak mau melakukan ini?”
Semula Arif
ragu untuk menanyakan, namun sejak dulu ia selalu penasaran dengan orang yang
selalu dipanggil Kartini oleh orang – orang di pinggir rel kereta.
“Karena aku
ingin negeri ini bangun. Sekian lama Indonesia telah tertidur, berhenti pada
suatu titik tanpa adanya keinginan untuk lebih baik. Orang – orang di tempatmu,
apakah mereka peduli terhadap pendidikan mereka ? bahkan masih banyak yang
tidak bisa membaca. Setidaknya kau beruntung, bisa mengenyam pendidikan,
sedangkan temanmu yang lain, mereka tidak bisa. Bahkan mereka juga melakukan
pekerjaan yang tidak baik, berjudi, mencuri, perlahan aku ingin menuntaskan hal
itu. Bukankah itu yang harus dilakukan jika ingin membangun negeri ini jadi
lebih baik?”
“Bagiku,
kakak memanglah Kartini bagi kami. Lilin kecil yang berbagi cahaya dengan kami.
Kumohon tetaplah menjadi Kartini dan lilin kecil kami.”
Helen
tersenyum mendengarnya.
“Aku akan
tetap menjadi lilin kalian.”
Sore ini,
Helen meninggalkan tenda baca. Ibu – ibu sudah masuk ke rumah dari tadi, anak –
anak bermain di pinggir rel kereta, ketika kereta lewat mereka akan bersorak
sambil melambai ke arah penumpang. Helen menikmati itu semua, mencoba belajar
dari mereka. Setiap hari menempuh kehidupan pahit. Mengingat bagimana
antusiasme mereka datang ke tenda baca. Setidaknya mereka telah berusaha
menjadi lebih kuat, menjadi berguna bagi negeri ini. Setidaknya ada secercah
harapan kecil dalam diri mereka untuk berubah menjadi lebih baik. Semoga negeri
ini berhenti menyalahkan orang seperti mereka, yang juga tidak pernah berharap
mendapat kehidupan pahit.
Hidup
itu bagaikan pelangi, juga bagaikan kopi dan gula, atau bahkan bagaikan langit
dan bumi. Tak ada alasan bagi seseorang untuk berhenti berjuang dan tetaplah
menjadi manusia – manusia yang kuat.
By : Putri Nur Azizah
14 Februari 2017
Komentar
Posting Komentar