Langsung ke konten utama

STRONGER


            Koridor rumah sakit tampak lenggang malam ini, hanya ada beberapa suster berlalu lalang menuju kamar satu ke kamar lainnya sembari membawa nampan obat. Lampu – lampu panjang  memang menyala, namun itu semua tak berarti bagi Vero. Entah koridor yang terang atau gelap sekalipun, tak berbeda menurutnya. Ia malah suka semuanya menjadi gelap, karena orang lain tak akan bisa melihat jalan dan menabrak satu sama lain. Setidaknya ia tidak merasa sendirian dalam kegelapan.
            Hitam. Gelap. Bahkan seberkas cahaya merah seperti ketika kita menutup mata biasanya pun tak ada. Membayangkan lantai putih rumah sakit, lalu lalang orang berpakaian biru dengan infus di tangan, anak kecil berlarian di kamar menolak untuk  minum obat, para suster yang tengah bermain peran dengan pasien. Alangkah menyenangkan ketika kita bisa tahu apa yang kita dengar sama dengan apa yang kita lihat. Bagi Vero, ia hanya bisa membayangkana apa yang ia dengar lalu membiarkan imajinasinya bekerja.
            “Aku tidak suka ini... tidak suka... aku tidak suka seperti ini...!”
            Hal itu terjadi lagi, ia bergumam pada dirinya sendiri, kepalanya menggeleng cepat,  nafasnya memburu, jari – jarinya bergerak tak karuan, matanya menyipit. Vero sedang marah. Ia mempercepat jalannya meskipun ia tidak tahu kemana arahnya, meraba – raba dinding rumah sakit, menumpahkan isi tempat sampah, menabrak kursi besi, bahkan menendang pot besar dengan kakinya.
***
            “Lihat wajahku Ibu ! Aku sudah seperti mayat !”
            “Tapi bukan berarti harapan hidup juga berakhir Affan.”
            “Ibu tahu sendiri bagaimana menderitanya aku menjalani semua pengobatan ini. Ibu menyuruhku melakukan apapun, minum banyak obat setiap hari. Aku lelah... apa aku tidak boleh istirahat dari semua ini ?”
            “Tidak ! Kamu tidak boleh berhenti ! Hanya ini... hanya ini yang dapat memperpanjang hidupmu, setidaknya ibu bisa melihatmu lebih lama,” Ujar ibu sambil menangis.
            “Tapi aku tidak mau hidup lebih lama ! Hidup ini melelahkan !”
            BRAK Affan menutup pintu dengan kasar lalu berjalan menjauh dari kamar nomor 201 secepat mungkin. Dari kejauhan, ia melihat sesorang berlari tanpa peduli sekitarnya, orang itu baru saja menabrak tempat sampah sehingga membuat semua isinya berantakan di lantai, seakan tidak peduli ia terus berlari hingga... BRUK. Gadis itu menabrak Affan.
            “Apa kau gila ?” Tanya Affan pada gadis itu, Affan mencengkeram lengan gadis itu dengan kasar.
"Siapa kau ? lepaskan !"
Affan tidak sengaja membaca nama yang terukhir di kalung gadis itu.
"Oh aku harus meralat ucapanku. Apakah kau sudah gila Vero ?" Tanya Affan dengan lebih menekankan kata - kata.
"Dengar ! Yang pertama aku tidak mengenalmu, kedua jangan pernah menghalangiku !" Vero melepas cengkeraman Affan dengan kasar lalu segera pergi meninggalkan Affan.  
"Hei... apa kau buta sampai tidak tau apa dan siapa yang kau tabrak ? hah ?" Teriak Affan lalu sebelum berbalik badan ia kembali berteriak "Kalau kau ingin tahu, namaku Affan !" Ia berteriak berharap Vero mendengarnya.
***
Affan tidak pulang ke rumah malam ini, ia juga berniat untuk tidak menjalani kemoterapi, meskipun ibunya sudah menyuruh untuk segera pulang lalu pergi ke rumah sakit ia tidak peduli sama sekali. Affan lebih memilih pergi ke suatu tempat yang tenang dan sepi.
Suasana batuporon benar benar sepi, batu karang terlihat mencuat ke daratan karena kebetulan hari ini tengah surut,  kapal barang terlihat kecil dan berjajar rapih di sekitar pelabuhan perak, kapal penumpang sudah bersiap untuk mengangkut penumpang pertama, dan juga jembatan Suramadu yang tidak pernah sepi. Madura memang tempat yang tepat untuk melihat pemandangan seperti itu.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat seseorang yang tak asing baginya, ia adalah gadis yang tadi malam menabrak tempat sampah yang ia kira namanya Vero. Tanpa ragu Affan menghampiri Vero. Ketika Affan berada tepat di samping Vero, ia merasa bingung mengapa Vero sama sekali tidak menyadari keberadaannya. Affan mengamati Vero dari atas hingga bawah, dan jika dilihat dari penampilannya sepertinya Vero juga tidak pulang tadi malam.
"Apa ada orang di sampingku ?" Tanya Vero tiba - tiba.
‘Kenapa gadis ini masih harus bertanya ? sudah jelas ada aku di sini,’ Pikir Affan dalam hati.
"Ya, kita bertemu tadi malam, kau gadis tempat sampah itu kan ?" Tanya Affan
"Oh kalau begitu aku minta maaf karena menabrakmu."
"Tidak perlu minta maaf..."Affan duduk di batu karang. "Sedang apa kau di sini ?" Tanyanya.
"Aku ? aku selalu ke sini sebelumnya. Kalau anak – anak sudah bosan belajar, aku mengajak mereka kemari mencari kepiting.”
“Kepiting ?” Heran Affan.
“Ya, di balik batu karang ini banyak kepiting kecil bersembunyi. Tapi juga bukan hal yang mudah untuk menangkapnya karena mereka sangat gesit.”
“Aku memang belum pernah ke sini sebelumnya dan anak – anak maksudmu ?” Sahut Affan
“Hanya anak – anak yang kuat. Kau pasti sering bertemu dengan pengamen, anak yang minta – minta, anak – anak berambut merah, tapi sebenarnya rambut mereka merah bukan karena cat tapi karena rusak terkena sinar matahari. Kau pasti juga sering tidak memberi mereka uang receh kan ?”  
“Apa salahnya kita tidak memberi mereka ? aku pikir mereka harus lebih bekerja keras, sekolah atau bekerja. Meminta – minta seperti itu bukanlah hal yang bagus utuk dilakukan dan menjadi kebiasaan.”  
“Tidakkah kau kasihan ? siapa sih yang mau menjadi mereka ? kehidupan miskin, baju lusuh, bahkan banyak dari mereka yang putus sekolah.” Ujar Vero sambil terseyum kecil. Ia sudah sering mendengar jawaban seperti yang Affan katakan. Dan lagi – lagi ia hanya bisa tersenyum pahit.
“Tapi itu untuk memotivasi mereka untuk lebih bekerja keras.”
“Itulah yang membuat mereka manjadi anak – anak yang kuat. Berjuang menghidupi dirinya, bertahan dalam pahitnya hidup. Bandingkan dengan para orang lemah di luar sana, yang hanya mengandalkan uang orang tua, huh memalukan sekali. ”
 “Apa itu menyinggung perasaanmu ? Maaf kalau begitu.” Affan menatap mata Vero, ia menyadari ada yang aneh dari lawan bicaranya kali ini, “Bolehkah aku bertanya ada apa degan matamu ?”
“Mataku ? ini aku yang buta atau kau yang buta ?”
“Hah ? masudmu... kau tidak bisa...” Terpotong
“Memang, aku pikir kau menyadari hal ini sejak kejadian tadi malam, Affan. Bukankah namamu Affan orang sombong ?”
“Aku minta maaf. Dan jangan memanggilku seperti itu.”
“Oh baiklah, dan soal yang tadi malam aku sedang kacau karena aku gagal medapat donor. Ah, sebenarnya aku tidak pernah mengobrol sedekat ini dengan orang asing sebelumnya,” Ucap Vero
“Anggap saja aku ini bukan orang asing. Lagi pula aku akan segera mati, jadi tidak perlu takut untuk selalu terganggu olehku.”
“Apa yang kau katakan ? kenapa kau mati ?”
“Kau pasti tau orang ke rumah sakit karena apa, buta mu itu tak seberapa dengan apa yang aku derita. Mungkin umurnya tinggal seminggu, atau bahkan satu jam. Asal kau tahu, aku lebih kuat darimu.”
Vero mencoba menerka tempat Affan berada, ia menoleh berusaha seperti oang yang sedang berbincang.
“Kau tahu, ketika aku pertama kali mengetahui mataku buta, aku ingin mengakhiri hidupku saat itu juga, Aku merasa tidak bisa melanjutkan hidup dengan normal. Tapi aku ingat andaikan aku tidak ada bagaimana dengan anak – anak ? siapa yang akan mengajar mereka ? Meskipun dalam keadaan seperti ini aku juga belum bisa mengajar mereka, setidaknya aku masih bisa merasakan kehangatan bersama mereka.”
“Aku tahu itu... ibuku akan jadi orang paling sedih ketika aku pergi nanti.” Affan menatap lurus ke patung Jalesveva Jayamahe. Ia merenung, orang buta seperti Vero punya semangat yang tinggi untuk hidup, bahkan ia masih sempat memikirkan hidup orang lain. Ia merasa sangat buruk karena selalu merasa tidak beruntung dengan ini semua.
“Saat aku masih bisa melihat, aku ingin mengajak anak – anak ke Museum, belajar tentang sejarah, memberikan gambaran bagimana kuatnya para pejuang, betapa hebatnya para pemuda dahulu. Pahlawan, guru, tentara, atau yang lain. Semua masih terbuka lebar, mereka berhak atas semua mimpi.”
“Kau sudah mengajak mereka ke museum ?” Tanya Affan dan Vero hanya menggeleng, “Aku tidak bisa, mataku...” lirih Vero kemudian.
“Bukan masalah ! Kalau begitu ayo kita lakukan !”
Vero dan Affan segera menuju rumah pelangi, tempat dimana para anak jalanan berkumpul menanti Vero, mereka sudah menghabiskan beberapa buku namun sang guru mereka tetap tidak datang, memang tak ada yang tahu tentang kebutaan Vero, itulah mengapa mereka masih setia menunggu Vero datang dan membawa ilmu baru bagi mereka. Di rumah pelangi inilah mereka bisa mendengar cerita, belajar menulis, membaca, belajar apa arti kebersaman dan persaudaraan, dan yang paling penting, rumah pelangi memotivasi mereka menjadi lebih baik.
Rumah pelangi selalu menjadi yang terbaik bagi anak – anak, tidak peduli seberapa banyak tempelan koran – koran bekas di dinding, tidak peduli mereka harus duduk di lantai beralaskan koran, karena di sini mereka bisa menyusun tangga sedikit – demi sedikit untuk masa depan. Meskipun hanya secercah harapan kecil, siapa yang tahu takdir seseorang, jika orang itu mau bekerja keras, maka harapan itu akan terwujud.
Ketika melihat sesosok yang mereka kenal muncul dari balik pintu kayu, mendadak suasana menjadi riuh dengan hujan pertanyaan yang mereka simpan selama ini, anak – anak senang bukan main dan mulai berhamburan memeluk Vero. Kini akhirnya mereka tahu apa yang membuat Vero tidak datang lagi sejak janji terakhirnya untuk membawa mereka ke museum.
“Kakak Guru, kapan kita ke museum ? setiap malam aku selalu bermimpi bertemu dengan orang yang ada di uang seribu, ia bertanya terus kapan aku akan mengunjunginya di museum.” Celetuk salah seorang anak bernama Anton. Anak lain ada yang tertawa ada juga yang mengiyakan.
“Maaf telah membuat kalian menunggu, tapi sepertinya kakak tidak bisa membawa kalian ke sana,” Ucap Vero penuh penyesalan.
“Kenapa tidak ? apa hanya karena kau tidak bisa melihat jalan ? kau mungkin tidak bisa melihat, tapi coba rasakan bagaimana kecewanya anak – anak ini.” Affan berbisik pelan kepada Vero.
“Ya, karena aku buta.”
Affan merasa ini tidak boleh terjadi, ia juga tidak tega dengan wajah kecewa dari anak – anak di hadapannya. Mereka mungkin memang belum pernah melihat museum sebelumnya.
“Baiklah... perkenalkan nama kakak Affan, hari ini juga kita akan ke Museum. Dan kakak Guru Vero, kau hanya kehilangan salah satu indera, kau masih bisa berbicara untuk menceritakan kisah kepada mereka.”
YEYYY sorak senang anak – anak memenuhi rumah pelangi.
Vero terhenyak dengan ucapan Affan, memang benar, seharusnya ia bisa memaksimalkan inderanya yang masih berfungsi. Akhirnya Vero menyetujui usulan Affan.  
Orang – orang menatap aneh pada rombongan anak jalanan turun dari kapal penyeberangan, saling berebut kursi angkutan umum, mereka bahkan ada yang melakukan pekerjaan mereka, meminta – minta, mengamen, bagi Vero itu bukanlah masalah karena mereka malah membantu orang lain untuk bersedekah.
Kini mereka sampai di depan suatu bangunan yang tinggi, hijau, dan luas Ada dekorasi pilar – pilar kokoh selama penjajahan yang dilengkapi tulisan protes para rakyat Indonesia. Tugu Pahlawan adalah tempat yang ingin Vero tunjukkan pada anak – anak.
“Kau bisa beritahu aku di mana kita sekarang ?” Tanya Vero.
“Kita berada di depan gambar Thomas Matulessy,” Jawab Affan
“Baiklah, Anton inikah orang yang ada di mimpimu selama ini ? Namanya adalah Thomas Matulessy atau Kapitan Pattimura juga boleh, tempat tinggalnya jauh sekali di Maluku sana, kalian tahu ia meninggal karena apa ?” Anak – anak menggeleng, “Digantung..”
“Apa ? kejam sekali para penjajah itu !” Celetuk seorang anak.
“Sekarang kita ada di depan gambar Cut Nyak Dien.” Affan menuntuk Vero pelan ke arah foto pejuang wanita tersebut.
“Nah, anak – anak, wanita di gambar ini juga sangat berjasa bagi Indonesia. Dia wanita yang sangat tangguh, ketika anaknya menangis karena sang ayah wafat, belau dengan tegar berkata ‘Tak ada gunanya menangisi orang yang telah syahid’ meskipun sebenarnya hatinya juga tengah terpukul. Pandangannya bahkan juga semakin buram, namun ia tetap melanjutkan perjuangan.”
“Sama seperti kakak Guru, meskipun salah satu indera kakak tidak berfungsi dengan baik, tak ada alasan untuk berhenti mengajar kita.” Celetuk salah seorang anak di belakang. Sedangkan Vero hanya tersenyum mendengarnya.
“Apa kita sudah sampai di gambar para pahlawan revolusi ?” Tanya Vero
“Ya, mereka semua bisa melihat gambar pahlawan revolusi di segitiga tengah ruangan,” Jawab Affan.
“Kakak Guru, mereka terlihat pintar dan keren... kenapa mereka berbeda  dari yang tadi ? apa mereka lebih kaya ?”
“Tidak Aldo, memakai kacamata bukan berarti orang itu lebih pintar dan orang yang memakai jas bukan berarti lebih kaya. Tetapi orang – orang itu memang pintar, golongan terpelajar, golongan pemuda. Mereka yang menyusun Pancasila, mereka yang menyusun Undang – Undang Dasar 1945. Juga orang yang memakai peci dan orang di sampingnya memakai kacamata bernama Ir. Soekarno dan Bung Hatta. Mereka presiden dan wakil presiden pertama Indonesia.”
“Wah, mereka benar – benar hebat. Tapi kakak Guru lebih hebat karena mengetahui sejarah mereka.”
“Kakak hanya sekedar ingin selalu ingat dengan orang yang telah berjasa pada negeri ini.”
“Anak – anak ini juga akan mengingatmu kelak, karena kau yang merubah mereka menjadi lebih baik nantinya.” Affan berbisik pelan pada Vero dan menuntunnya menuju tempat lain.
“Kau tahu Affan, semua orang ingin hidup, tak ada alasan bagi mereka untuk bosan dan tidak mau melanjutkan hidup. Lihat para pahlawan ini, mereka terdesak oleh penjajah, kenapa mereka masih ingin berjuang meskipun peluru bersarang memenuhi tubuhnya ? Karena mereka ingin tetap hidup, mereka harus hidup, untuk anak – anaknya, generasi selanjutnya, dan Indoensia,” Ucap Vero. Ia mencoba menoleh ke arah Affan, ia ingin mencoba berbicara dengannya bagikan orang normal.
“Kau juga bisa melihat anak – anak saat ini, mereka bisa saja memilih mengakhiri hidupnya yang pahit, tapi mereka ingin hidup yang lebih baik, itulah kenapa mereka masih bertahan dalam kepahitan ini, untuk hidup yang lebih baik,” Lanjut Vero.
“Dan kau, meskipun kau buta, tapi masih mencoba bertahan dengan inderamu yang lain. Aku tahu itu... tapi aku terlambat mengetahui arti betapa pentingnya hidup. Terima kasih atas semuanya dan akan kupastikan besok donor untuk matamu sudah tersedia di rumah sakit. Aku akan membantumu mendapatkannya. Tetaplah menjadi dirimu yang kuat.”
***
Pagi ini, Vero menatap lurus ke depan mengamati patung Jalesveva Jayamahe dari pulau Madura. Angin pagi berhembus sejuk, semilir angin menerbangkan beberapa helai rambut gadis cantik ini. Kapal – kapal penumpang mulai melakukan persiapan, para kapal barang tetap tidak bergerak dari tempatnya mulai tadi malam, sesekali ada burung camar turun menangkap ikan, gelembung bekas gerakan ikan memenuhi selat Madura, dan seperti biasa jembatan suramadu yang tidak pernah beristirahat.
“Terima kasih atas mata ini. Meskipun aku agak marah kenapa kau tidak mencoba bertahan hidup, tapi aku juga tahu bagaimana pahitnya penyakitmu. Andaikan saat itu aku tahu kau membantuku pergi ke museum bersama anak – anak adalah caramu untuk mempersingkat hidup, aku tidak akan pergi. Andai aku tahu kau melewatkan kemotrapi, aku tidak akan pergi. Tapi aku tidak tahu...” Vero menangis, ia terus menyalahkan diri sendiri.
“Affan... aku tidak akan membuat kepergianmu sia – sia. Akan ku jaga mata ini, sama seperti aku menjaga Indonesia untuk para pahlawan. Terima kasih teman...”
Hidup itu bagaikan pelangi, juga bagaikan kopi dan gula, atau bahkan bagaikan langit dan bumi. Tak ada alasan bagi seseorang untuk berhenti berjuang dan tetaplah menjadi manusia – manusia yang kuat.



By : Putri Nur Azizah 
       14 Februari 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kenapa SMA Banyak Tugas ?

Hai para pengunjung...  krik krik  Hari ini saya akan membahas mengenai apa yang saya alami d SMA dan mungkn teman - teman di luar sana juga mengalami. Atau mungkin bertanya - tanya seperti saya. Saya sekarang masih kelas 10 di SMA N 1 Trenggalek. Perjuangan masuk di SMA N 1 Trenggalek lumayan berat tapi beruntung bisa masuk lewat jalur Olimpiade. Entah keajaiban apa saya bisa masuk 15 besar dari ratusan pendaftar. Mungkin karena membaca Yasin setiap hari dan tentunya belajar dong ya... Katanya sih, SMA itu asik, berkesan, dan tentunya sangat berbeda dengan SMP. Memang saya mulai merasakan dari teman. Teman - teman di SMA itu asik asik arena udah gede kali ya, pikiran juga udah nyambung dan lebih mandiri. Kalau ada kegiatan apa gitu pasti ada yang mengkoordinir, nggak kayak SMP yang kalang kabut. Dan di SMA juga saya merasakan jadi pemenang, Karena di SMP sebelumnya kelas saya tidak pernah mendapat juara di classmeeting atau yang lainnya. Dan senangnya saya ikut berpartisipa

FIRST LOVE ( SUGA BTS )

First Love #Suga Fanfiction# Nae gieogui guseok Han kyone jaribaneun galsaek piano Eoril jok jip anui guseok Han kyone jarijabeun galsek piano The corner of my memory A brown piano settled on one side In the corner of my childhood hoouse A brown piano settled on one side ~Suga BTS : First Love~ Kesuksesan boyband Bangtan Sonyeondan a.k.a BTS sudah tidak perlu diragukan lagi, penggemar mereka tidak hanya dari Korea saja, melainkan juga dari berbagai negara di luar sana. Apalagi mereka juga baru saja melakukan comeback-nya dan sebentar lagi BTS akan melakukan tour untuk promosi album sekaligus menghibur Army yang sudah menunggu di luar sana. ‘Lagu itu sangat menyetuh sekali, aku seakan tahu apa yang ia rasakan’ ~@princess09~ ‘Dengarkan desahan nafasnya yang begitu sexy, oh Tuhan... ‘ ~@suga’swife~ ‘Aku penasaran siapa fisrt love nya’ ~@istrisugadariindonesia~  ‘Aku pikir dia akan bernyanyi di lagu ini, ternyata dia tetap istiqomah dengan rap-ny

LO Amatiran di Debate Competition

Hai pengunjung... krik..krik.. Akhirnya bisa kembali ngeblog lagi. Setelah vakum lebih dari 2 minggu persiapan sekaligus UKK. Dan yang menyakitkan lagi ketika lihat daftar statistik pengunjungnya semakin menurun. Hiks... tapi nggak papa suetelh ini pasti banyak lagi.  Jadi hari jumat tanggal 20 lalu ada debate competition di kabupaten. Acara itu buat memperingati 100 hari bupati Trenggalek ( Pak Emil ) menjabat sebagai bupati. Nah, kan banyak kegiatan yang diadakan ada pesta rakyat, pensi, letto band, lampion, marcing band, dan entah apalah apalah itu lainnya. Parahh kegiatannya pas SMA lagi UKK. Kok jadi ngomongin itu ya, kan mau nyeritain pengalaman jadi LO ( Liaison officer ). Malah nggak cocok sama judulnya.  Oke lets start right now ! Saya ini kan tergabung sebagai speech candidate di sekolah saya, sebenarnya sih disuruh pindah haluan ke debate tapi nanggung udah sampai sini mau belajar debate takut udah telat. Lagian debate juga susah sih !  Ada 25 sekolah