Malam hari di taman belakang,
seorang pria duduk sendirian di ayunan warna putih. Matanya terpejam, bibirnya
bersenandung, kakinya mengayun pelan. Suasana malam itu juga sangat mendukung
suasana hatinya yang menginginkan ketenangan. Tak ada suara lain selain
senandung lembut yang keluar dari bibirnya. Mungkin saat ini jangkrik sedang
mendengarkan merdunya suara pria itu, itulah sebabnya tak ada suara jangkrik
yang beradu seperti biasanya. Sunyi. Damai.
BRAK...
“Jimin !”
Oh tidak, suara itu terdengar lagi.
Membuat pria yang tadinya merasakan ketenangan mengernyitkan dahinya. Matanya sipitnya
terbuka perlahan, menatap kosong rerumputan basah yang ia pijak sambil
menghembuskan nafas berat seperti biasanya.
Dirogohnya
saku sebelah kanan, mengambil sebuah tabung berisi pil berwarna putih. Pria itu
lalu membuka tutupnya dengan perlahan seakan memilah – milah mana yang ingin ia
ambil meskipun tak ada satupun dari pil itu yang berwujud beda. Meletakan satu
pil di telapak kanannya, menimbang – nimbang sebentar, lalu akhirnya ia memutuskan
untuk menambahkan dua pil lagi. Tangannya seakan ragu ingin memasukkan benda
itu ke dalam mulutnya atau tidak.
“Kau aka bertemu eomma-mu setelah
memakakn obat ini. Percayalah...”
Kata
– kata seorang pria yang lebih tua darinya seminggu yang lalu terus terputar di
otaknya, membuatnya bertanya – tanya pada dirinya sendiri “Apa harus sesakit ini caranya ?”
Setelah
menimbang – nimbang sekali lagi, dua pil sudah masuk ke dalam tenggorokannya.
Tak butuh waktu lama hingga obat itu bekerja. Samar – samar ia tak lagi
mendengar keributan di dalam rumah lantaran Jimin mencoba untuk berjalan. Oh,
aku lupa memberi tahu bahwa Jimin tidak bisa berjalan setelah kecelakaan tujuh
tahun yang lalu. Membuatnya terus berada di kursi rodanya dan mendapat kasih
sayang juga perhatian lebih dari orang tuanya. Sehingga pria satu ini merasa
kehilangan apa yang seharusnya ia dapatkan. Itulah kenapa Jung Hoseok, pria
yang sedari tadi duduk di ayunan memilih tenggelam dalam halusinasinya sendiri.
Kembali pada masa kecilnya yang indah dan bahagia. Saat sebelum ia ikut ayahnya
dan harus tinggal bersama ibu tiri dan adik tirinya. Saat dimana ia belum
kehilangan hampir semuanya. Ya, setidaknya belum semuanya.
***
Seorang anak berlari menghindari
kejaran ombak yang menuju ke arahnya. Bajunya sudah basah dari tadi, pasir
memenuhi saku celananya, dan juga rambutnya entah bagaimana bentuknya. Anak itu
terus berlari menuju dua orang yang menunggunya di kursi rotan. Eomma dan appa.
Appanya melentangkan tangan sambil menangkap anak itu ke dalam pelukannya. Lalu
menggendong putra kesayangannya untuk duduk. Eomma si anak ini menyodorkan es
kelapa muda diiringi senyum paling manis, mengacak – acak rambut anaknya
sebentar lalu mendaratkan kecupan singkat di dahinya.
“Eomma, aku tadi melihat kerang
yang sangat besar di sana.” Anak itu menunjuk tempat ia bermain tadi.
“Oh ya ? tidak kau ambil ?”
“Aku kasihan, nanti dia tidak
bisa bertemu keluarganya lagi,” Jawabnya polos.
“Omo ! Jung Hoseok... sejak kapan
kau jadi penyayang binatang seperti ini ? hmm ?” Kini Appanya berjongkok untuk
menyejajarkan tinggi dengan putranya, Jung Hoseok.
“Aku memang tidak suka binatang,
tapi aku tidak akan menyiksa binatang, Appa.” Jawabnya sambil menyeruput es
kelapa muda yang ia pegang di dua tangan mungilnya.
Siapapun yang melihat keluarga
ini akan sangat iri, melihat kasih sayang yang ada dalam keluarga itu, seakan
tidak akan pernah habis. Lihatlah bagaimana Eomma dan Appa Jung Hoseok yang
memberikan kasih sayang yang tiada tara untuknya. Karena hidup dengan kasih
sayang itu, terciptalah Jung Hoseok dengan kepribadian yang sangat baik.
“Hoseok sayang Eomma dan Appa.”
CUP
CUP
Hoseok mencium singkat pipi kedua
orang tuanya sebelum akhirnya ia kembali berlari menuju tepi pantai melanjutkan
bermain yang ia anggap sebagai petualangan.
***
“Hyung...
apa kau tak masuk ?” Jimin menepuk pelan pundak Hoseok. Sebenarnya ia tak tega
membangunkan hyungnya yang sepertinya tertidur sangat pulas. Namun mengingat
ini sudah malam dan angin semakin dingin, ia tak ingin hyungnya itu sakit
lantaran tidur di luar.
Hoseok
mengerjap beberapa kali untuk mengumpulkan kesadarannya. Kepalanya terasa berputar
dan penglihatannya buram. Ia tahu ini karena apa, tentunya pil yang ia konsumsi
tadi. Saat ini ia berusaha setengah mati agar terlihat tenang di hadapan
dongsaengnya agar tidak curiga.
“Ini
jam berapa Jimin ? Tanyanya sambil mengira – ngira keberadaan Jimin. Pasalnya
penglihatannya kini masih buram dan juga kepalanya yang makin berdenyut.
“Jam
sebelas. Ayo masuk, lihatlah dirimu yang hanya memakai jaket tipis itu, apa kau
tidak kedinginan ?”
Syukurlah
kini pandangannya mulai berangsur kembali meskipun denyutan itu tetap ada.
Sebisa mungkin ia menunjukkan senyum kepada pria yang duduk di kursi rodanya,
Jimin.
“Ah
ternyata aku ketiduran terlalu lama. Aku akan masuk sebentar lagi, aku ingin
menikmti udara segar lebih lama,” Jawabnya tanpa menghilangkan senyum manisnya.
“Geurae...
jangan ketiduran lagi, eoh? Aku tak mau kau sakit,” Ucap Jimin dan dianggukkan
oleh Hoseok.
Jung
Hoseok menatap Jimin kembali dengan mendorong kursi rodanya sendiri. Ia menatap
punggung adik tirinya itu dengan tatapan iba. Meskipun Jimin mendapat kasih
sayang dan perlakuan spesial dari orang tuanya, ia tak akan pernah bisa
membenci Jimin. Ia sangat menyayangi adiknya, bahkan saat ini untuk adiknya itu
ia menahan pusing di kepalanya lalu berjalan menuju Jimin.
“Aka
kubantu.”
Kini
kedua tangan Hoseok mendorong kursi roda Jimin hingga di kamar. Menuntun Jimin
agar berbaring di tempat tidurnya, membenamkan selimut tebal, lalu mematikan
lampu kamar Jimin. Tak lupa ia mengucapkan kata – kata yang selalu ingin ia
dengar dari kedua orang tuanya.
“Tidur
yang nyenyak, Jimin,” Ucap Hoseok sambil menutup pintu pelan.
Sebelum
pintu kamar tertutup sempurnya, ia bisa mendengar suara Jimin yang mengantuk
“Kau juga tidurlah yang nyenyak, Hyung.”
KLEK
Pintu
tertutup. Tanpa Hoseok sadari, ujung bibirnya tertarik melengkung.Ya, ia
tersenyum. Hoseok menghela nafas panjang sebelum akhirnya ia menuju kamarnya
sendiri yang berada di samping kamar Jimin.
Di
kamar, tiba – tiba ingatannya kembali ke sembilan tahun silam ketika ia berumur
10 tahun. Dimana ada suatu peristiwa yang merubah seluruh hidupnya. Peristiwa
yang menyebabkan ia harus terkurung dengan pil – pil yang memberikan tipu daya
bagi otaknya. Yang mengepung Hoseok sehingga tidak bisa keluar dari benda yang
seharusnya tak ia sentuh.
***
“Apa
kau tidak bisa menjaga anakmu sendiri ?”
“Kau yang tidak bisa menjaganya. Kau
bekerja hingga larut malam sampai lupa dengan keluargamu sendiri !”
“Aku harus mengurus perusahaanku! Kau
pikir apa tugasmu sebagai ibu? Mengurusnya dengan baik! Bukan menelantarkannya
seperti ini !”
“Apa? aku tidak menelantarkannya,
aku hanya bekerja dan mempertahankan perusahaanku juga!”
“Kau tidak seharusnya bekerja!
Serahkan perusahaanmu pada adikmu itu! Rawat saja Hoseok dengan baik !”
“Appa..” Tedengar suara anak kecil
menangis di sela – sela pertengkaran suami-istri ini. Anak itu berjalan pelan
menuju pelukan Appa-nya sambil menangis. Wajahnya pucat lantaran sakit.
“Hoseok sayang, apa perutmu masih
sakit ?” Tanya Appa khawatir.
Hoseok mengangguk sambil memeluk
Appanya. Kini Appa Hosoek menatap istrinya sengan tatapan benci.
“Kita akhiri saja ini ! Akan kucari
seorang ibu yang baik yang bisa mengurusnya dengan baik !”
Bukan ! Bukan itu yang diharapkan
pria kecil yang meringis kesakitan. Ingin sekali Hoseok kecil mengatakan
sesuatu pada Appanya, bahwa ini bukan salah Eommanya. Ingin sekali Hoseok kecil
meminta appanya untuk berhenti memarahi eommanya. Ia tahu bahwa eommanya
menyayanginya, sangat menyayanginya.
***
Hoseok
tersenyum kecut melihat foto di meja. Tiga orang di dalam foto itu tersenyum
bahagia sambil membawa es krim warna merah muda.
“Mencari ibu yang bisa mengurusku
dengan baik ?”
Huh... bibirnya tersenyum masam,
bola matanya berputar malas.
Hoseok menutup foto itu agar ia tak
lagi melihatnya. Ia baru ingat jika efek dari pil itu masih terasa, kini
matanya semakin berat seakan membawanya menuju lebih jauh ke dalam
halusinasinya. Menyuruhnya terpejam di kasur lalu terbuai dalam sesuatu yang semu
(lagi).
***
Jung
Hoseok kecil berdiri di depan kaca besar di kamarnya. Hari ini ia belajar sutu
hal yang baru, tarian baru untuk pementasan kelulusan kakak tingkatnya.
Tubuhnya dengan lihai meliuk – liuk sambil bergumam membentuk irama sendiri.
Berkali – kali ia mengulang gerakannya hingga ia merasa puas. Tak peduli
keringat sudah membuat baju bagian belakangnya basah.
CEKLEK
Tiba – tiba Hoseok terdiam
mengetahui ada orang yang masuk ke dalam kamarnya.
“Eomma... aku malu..” Rengeknya
manja lalu menyilangkan kakinya di atas kasur.
“Kenapa harus malu ? Eomma hanya
ingin melihatmu latihan saja,” Jawab Eommanya jujur.
“Tidak mau, nanti aku jadi gugup dan
lupa gerakannya.”
Eomma Hoseok tersenyum melihat
tingkah laku putranya yang kini merengek memintanya untuk pergi. Namun ia
datang tidak hanya untuk melihatnya latihan menari seperti yang ia katakan. Ia
ingin memeluk putranya dengan sangat lama. Pasalnya lambat laun, Hoseok juga
akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga kecilnya. Eomma
Hoseok ingin memberikan kasih sayang penuh sebelum hal yang ia takutkan benar –
benar terjadi. Perceraian.
“Hoseok sayang, sini nak.”
Hoseok sedikit kebingungan dengan
sikap eommanya kali ini. Namun ia menuruti perkataan eommanya untuk mendekat
tanpa banyak pertanyaan. Lalu ia tenggelam dalam pelukane erat dan menghangatkan.
Hoseok merasakan ada tangan lembut yang meguap surai rambutnya dengan sayang.
Tanpa Hoseok kecil sadari, ada bulir – bulir bening yang jatuh dari wanita yang
memeluknya.
***
Pagi ini,
sudah berkali – kali Jimin mengetuk pintu hyung-nya bermaksud mengajaknya
sarapan. Namun karena tidak ada jawaban ia akhirnya membuka pintu kamar
hyungnya yang tidak terkunci. Ia bisa melihat Hoseok tidur dengan selimut yang
menutupi setengah badan. Jujur saja, Jimin jarang sekali masuk ke kamar Hoseok.
Dan kali ini ia sedang di dalamnya, mengamati setiap sudut ruangan hyungnya
yang didominasi oleh warna cokelat, laptop di meja masih terbuka dengan kertas
yang berserakan di sampingnya, ada juga gumpalan kertas yang berserakan di
lantai.
Jimin mengambil salah satu kertas
putih dengan tinta biru yang tergeletak di atas keyboard laptop begitu saja.
“Mama.” Gumamnya getika membaca tulisan pertama di kertas itu, mungkin itu
judulya.
time
travel 2006nyeonui hae
chume
michyeo eomma heorittireol jollamaessji
appa
bandeedo maeil dallyeodeul ttae
aranggoshaji
anho ttuiwojusin
kkumui
jogakbe
but
mollassji eommaui keun botaemi
pyeolchyeo
issnun jireumgil anin
bijeul
jwin i kkumui gil
(always)
munjeu moneu eomeonin gyeolguk
(go
away) tajiro ilhareo gasyeosseo
~dst~
“Woah... Daebak !” Ucapnya setelah
membaca seluruh isi kertas yang ia pegang, matanya juga terbuka lebar lantaran
kagum. Ia sampai lupa apa tujuannya kemari karena ia masih terus membaca isi
kerta – kertas yang lain.
“Boy Meet Evil ?”
Sebenarya Jimin juga bingung itu
kertas apa. Puisi ? Lagu ? entahlah ia hanya bisa mengira – ngira tanpa tahu
kebenarannya. Namun ia kembali lagi melihat kertas dengan tinta biru tadi,
membacanya sekali lagi, lalu ingatannya kembali pada kejadian tujuh tahun
silam. Ketika ia masih bisa berlari, ketika ia masih bisa menghadap kaca besar
sambil membuat gerakan yang indah.
***
Jimin berusia sepuluh tahun kala
itu, anak laki – laki yang beru saja kehilangan ayahnya dua tahun sebelumnya, lalu
ibunya memutuskan untuk mencari pasangan hidup yang lain, bagaimanapun juga ia
membutuhkan seorang pendamping, dan jimin membutuhkan sosok ayah yang bisa melindunginya.
“Park Jimin..” Sapanya pada anak
laki – laki yang katanya akan menjadi hyungnya.
“Jung Hoseok,” Balas anak itu sambil
menerima uluran tangan dari anak yang katanya akan menjadi adiknya itu.
“Ayo kita berbagi. Aku akan berbagi
ibuku denganmu, dan kau harus membagi ayahmu denganku,” Ucap Jimin begitu
lugunya dan Hoseok hanya mengangguk menyetujui.
Itulah awal mereka menjadi satu
keluarga. Keluarga yang saling berbagi kasih sayang dan pelukan. Keluarga yang
selalu membantu beban di pundak setiap anggotanya. Keluarga yang selalu
melempar senyum bagaimanapun keadaannya.
Hoseok dan Jimin memiliki hobi
yang sama, yaitu menari. Hingga saat ini di rumah mereka terdapat studio khusus
latihan menari untuk mereka berdua. Setiap hari sepulang sekolah, mereka pasti
menghabiskan waktu di sana, membuat gerakan baru lalu mencobanya hingga benar –
benar bagus.
BRUK
“Akh..”
Jimin terjatuh lagi. Tidak
tersandung, tidak terkena kaki Hoseok, tidak pula mengantuk.
“Kau jatuh lagi Jimin,” Ucap
Hoseok yang masih meneruskan tariannya. Seakan ia sudah biasa melihat Jimin
terjatuh di sela – sela tarian mereka.
Tak ada jawaban dari jimin, ia
hanya meringis terus mencoba untuk bangkit namun yang ia rasakan saat itu
adalah kakinya yang bergetar. Ketika ia memaksakan diri untuk bertumpu pada
kedua kakinya, ia terhuyung ke samping. Ia terjatuh lagi. Hoseok yang melihat
itu pun merasa khawatir lalu menghentikan tariannya.
“Apakah sakit di kakiku ini sudah
bertambah parah, Hyung ?” Tanya Jimin pada Hoseok.
“Apa kau merasa begitu ?”
“Apa itu artinya tak lama lagi
aku tidak akan bisa menari lagi ?” Bukannya menjawab pertanyaan Hoseok ia malah
lanjut bertanya “Apa aku akan lumpuh ?”
Setelah kejadian itu, tak ada
lagi suara musik di ruangan dance. Tak ada lagi peluh keringat yang menetes di
lantai, dan juga tak ada yang peduli dengan kaca besar di sana. Kini penyakit
Jimin mengenai kakinya sudah benar – benar sangat parah. Ia memiliki kelainan
dimana ia akan terjatuh dengan tiba – tiba karena kakinya yang mati rasa dalam
sekejap dan tak bisa digerakkan. Dan kali ini, Jimin hanya bisa mendorong kursi
roda kesana – kemari. Meninggalkan mimpinya untuk menjadi seorang penari,
meninggalkan rencana awal hoseok dan jimin untuk menari bersama di acara
kelulusan sekolah menengah mereka. Dan itu semua hanyalah menjadi harapan yang
harus mereka pendam entah hinggga kapan.
***
Jimin menggelengkan kepalanya
setelah kepingan masa lalu itu terlintas di kepalanya. Ia sadar jika mengingat
hal itu akan semakin membuatnya merasa lemah. Namun sampai kapanpun ia tak akan
pernah bisa melupakan kenangan indahnya dengan menari. Karena itu adalah
sesuatu yang sangat ia inginkan. Dan kini, setelah ia kehilangan kemampuan
untuk berjalan, bukan hanya dia yang berhenti untuk menari. Melainkan Hoseok
juga ikut berhenti. Kini kenangan dalam menari yang mereka rasakan telah
hilang, sengaja memang untuk menghapus kenangan itu. Semua itu Hosoek lakukan
untuk Jimin. Ia tak mau melihat adiknya mearasa sedih karena melihatnya menari
sedangkan Jimin hanya bisa memandang. Akan lebih baik jika tak ada lagi tarian.
“Hyung... kau tidak sarapan ?” Jimin
menepuk pelan pundak Hoseok. Timbul sedikit kekhawatiran di raut wajah Jimin
lantaran melihat begitu banyak peluh keringat di wajah Hoseok.
“Hyung... apa kau sakit ?” Ketika menyentuhkan
tangan ke dahi Hoseok, semuanya terlihat baik – baik saja. Namun itu malah
membuat Jimin semakin khawatir.
Hoseok sudah bangun. Ia sadar akan
kehadiran adiknya. Ia juga ingin sekali menjawab semua pertanyaan Jimin sejak
tadi. Ia ingin sekali membuka matanya lalu mendorong kursi roda Jimin menuju
ruang makan. Sialnya ia masih tidak bisa keluar dari pengaruh obat yang ia
minum tadi malam. Rasanya matanya masih berat, kesadarannya belum datang
sepenuhnya, bahkan suara Jimin pun hanya samar – samar ia dengar. Hingga ia
mendengar seseorang yang ia kenal mengatakan...
“Sudahlah, biarkan saja dia. Ayo
kita makan duluan saja.”
“Tidak
! Aku ikut ! Aku ingin makan bersama kalian. Kenapa kalian malah meninggalkanku
seperti ini. Tolong aku... aku tidak bisa bangun.”
Hanya ada kata
– kata yang tercekat, Hoseok masih belum mampu mengeluarkan suara sama sekali.
Padahal ia ingin sekali berada dalam meja bundar bersama orang yang ia sayang,
orang yang entah tidak tahu menyayanginya atau tidak.
“Apakah efeknya harus selama ini ?”
Siang
ini, Jung Hosoek sudah tidak berada di rumahnya. Kini ia berada di sebuah tempat
yang ia sebut basecamp studio bersama dua orang temannya. Suga dan Rap Monster.
Bukan nama asli, hanya nama stage. Hoseok juga punya nama stage, yaitu J-Hope.
Bukan tanpa alasan ia memilihi nama seperti itu karena ia adalah anak yang
hidup dengan dipenuhi harapan. Entah itu yang semu, ataupun yang ia sendiri
juga tidak tahu bagaimana cara untuk menggapai harapan itu.
Ruangan
mereka penuh dengan berbagai alat untuk seorang composer, kaca – kaca yang mengelilingi setengah ruangan, dan ada
juga tempat mereka tidur. Karena mareka adalah dancer, composer, dan rapper.
Di
tempat ini mereka membuat rap keren sekaligus membuat musiknya, di tempat ini
pula J-Hope menciptakan tarian indah yang sering ia tampilkan. Jimin, orang
tuanya, hanya tahu bahwa ia sudah berhenti menari. Namun mereka tak tahu
seberapa hebat Hoseok saat ini, seorang dancer yang kerap tampil di berbagai
acara. Tentu saja keluarganya tak tahu itu, mereka sudah memutuskan untuk menutup
semua akses agar tak ada unsur dance di kehidupan mereka. Itu semua untuk apa ?
Tentunya hanya untuk Jimin semata. Mereka mengabaikan tokoh lain yang hanya
bisa pasrah menerima dan harus mencari tempat lain untuk melakukannya.
Terkadang dalam suatu keluarga, yang namanya pilih kasih memang selalu ada. Dan
itu memang ada.
Sepucuk
surat diletakkan Rap Monster di hadapan Suga dan J-Hope. “Job baru,” Ucapnya
singkat.
Suga
membelalakkan matanya tak percaya ketika melihat isi dari undangannya.
“Tamu
spesial di acara pelepasan SMA ? Woahh daebak... itu artinya kita akan tampil di
inti acra ?”
“Ya,
kita akan tampil di sana. Bukakah itu sudah bias akita lakukan ? Dan untuk
J-Hope kau tidak hanya sebagai rapper melainkan pula sebagai dancer.”
J-Hope
hanya diam memandangi suratnya.
“Yakk
kau mendengarku tidak ?”
J-Hope
tetap saja terdiam.
“Aku akan tampil di acara
kelulusan Jimin. Menari di hadapannya. Sesuatu yang selama ini kututupi. Apa
bisa ?”
Acara
itu diselengarakan seminggu lagi. Hampir setiap hari tiga sekawan itu berada di
studio seharian. Mereka bahkan beberapa hari tidur di studio dengan keadaan
sangat lelah, lalu bangun dengan kantung mata tebal. Suga tak berhenti berada
di depan komputernya untuk membuat instrumen, Rapmonster dengan setia bekerja
keras bersama Suga. Dan J-Hope, dia menyerahkan urusan rap dan composing lagu
pada kedua temannya. Ia sekarang juga tengah bekerja keras pada tariannya.
Karena tak hanya menari, ia juga akan menyanyikan rap bersamaan dengan
dancenya.
Dua
hari sebelum acara berlangsung, mereka bertiga memutuskan untuk pulang ke rumah
karena mereka sudah mendekam di studio selama tiga hari.
“Aku
pulang.”
Hoseok
masuk ke rumah yang saat ini sepi. Tak ada orang sama sekali di rumah. Ia
membuat kopi sebentar lalu membawanya ke dalam kamar. Lalu tak lama kemudian
terdengar suara mobil baru datang.
Hoseok
melihat dari jendela kamarnya, melihat orang tuanya datang bersama Jimin.
Seperti biasa mereka pasti baru saja dari rumah sakit untuk melakukan terapi
pada kaki Jimin. Sudah dipastikan mereka pasti lupa dan tidak menyadari atau
tidak peduli Hoseok ada di rumah atau tidak, pulang atau tidak. Karena yang
mereka pedulikan hanya Jimin.
“Eomma,
apa hyung sudah pulang ?” Tanya Jimin
“Tidak
tahu, sayang. Dia bisanya hanya keluyuran tidak jelas saja, tidak bisa apa dia
menemanimu di rumah. Dasar anak itu,” Ujar Appanya.
Telinga
Hosoek tidak tuli. Ia mendengar dengan sangat jelas makian yang terlontar dari
appanya. Hoseok tersenyum pahit sambil menerawang ke foto keluarga lamanya.
Orang tuanya hanya tidak tahu seberapa hebat anaknya di luar sana. Mereka hanya
melihat cover buruk yang sebenarnya sama sekali tidaklah buruk. Mereka tidak
bisa melihat peluh dan kerja keras yang selama ini anak mereka lakukan. Dan mereka
tidak mencoba untuk menyingkirkan debu yang menutupi hati mereka. Karena mereka
tidak perduli akan hal itu. Dan itu yang dirasakan Hoseok saat ini.
Disambarnya
pil yang sudah tiga hari tak ia sentuh itu, memutar tutupnya, menuangkan pil
itu ke telapak tangannya hingga berjatuhan di lantai. Ia tidak peduli. Yang ia
inginkan saat ini adalah menghampiri Eomma nya di dunia bawah sadar, ia ingin
mengadu di depan eommanya. Bahwa ia rindu sebuah pelukan. Pelukan yang sanggup
membuatnya merasa lebih kuat dan merasa lebih
baik.
***
“Eomma aku tadi salah gerakan.
Teman – teman memarahiku karena tidak kompak dan akhirnya kami hanya menjadi
juara tiga. Mereka bilang ini adalah salahku.”
Lihatlah anak kecil bernama Jung
Hoseok yang tengah merajuh, ia bergelayut manja di lengan eommanya, bibirnya
cemberut dengan mata yang hampir menangis. Tidakkah terlihat menggemaskan ?
“Sayang, perlombaan seperti itu
tidak hanya ada satu. Ada banyak cara dan kesempatan untuk memperbaiki
kesalahanmu. Kau bisa menunjukkan pada mereka kalau kau bisa menjadi lebih baik
dan belajar dari kesalahan.” Ucap Eommanya lembut.
Manik mata Hoseok menatap wajah
Eommanya dengan tatapan menuntut.
“Apa bisa aku membuktikan itu
Eomma ?” Tanya Hoseok lagi.
Eommanya menatap Hoseok dengan
tatapan sayang, ia tersenyum untuk memberikan kekuatan pada putranya yang
kecewa pada dirinya sendiri. Dan itulah tujuanya berada di sini, memberikan
kekuatan untuk putranya. Ia lalu menarik Hoseok kecil ke dalam pelukannya.
Tangannya menyisir lembut surai rambut Hoseok, menepuk pelan pungung anaknya
sambil tersenyum.
“Setiap orang pasti punya
kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Dan setiap orang juga punya kemampuan
untuk memaafkan,” Kini ia merenggangkan pelukannya.
Ditatapnya Hoseok sambil
menunjukan senyum di wajah cantiknya.
“Apa kau sudah minta maaf mada
temanmu ?” Tanya Eommanya kemudian.
Hoseok menggeleng pelan “Aku
takut, mereka sedang marah padaku.”
“Cobalah untuk meminta maaf,
mereka pasti mau memaafkanmu. Apa perlu Eomma temani ?”
Akhirnya mereka berjalan masuk ke
tempat les dance Hoseok. Di sana masih ada teman – temannya yang menatap Hosoek
benci. Namun dengan bantuan Eommanya, tangan mungil itu berhasil menjabat
tangan seluruh temannya. Membuat tatapan benci itu berubah menjadi sebuah
harapan baru. Harapan agar sesuatu yang salah menjadi lebih baik.
J-Hope
***
Hosoek
baru bisa membuka matanya ketika matahari terbit. Ternyata sudah seharian ia terjebak
dalam masa lalunya lagi. Dan ia senang akan hal itu. Itu artinya ia lebih lama
merasakan kehadiran Eommanya. Setidaknya itu lebih lama dari biasanya.
Ia
melihat ponselnya yang ternyata sudah ada 30 panggilan tak terjawab dari suga
dan rap monster. Ah tentu saja mereka menelepon Hoseok sebanyak itu, mereka
sudah janji akan kembali ke studio tadi malam. Karena mereka harus benar –
benar memantapkan semuanya sebelum tampil keesokan harinya. Dan saat ini yang
Hoseok rasakan adalah kepalanya yang berdenyut dan juga perutnya yang meronta
minta makanan.
Ia
berjalan sempoyongan di dapur, mencari sesuatu untuk dimakan. Ah iya ia lupa
jika hari ini hari sabtu. Orang tuanya akan pergi ke rumah sakit lagi mengantar
Jimin untuk terapi. Dan tentunya mereka berangkat tanpa memperdulikan ada satu
lagi anak mereka yang tidak sadarkan diri lantaran meminum pil di kamar. Itu
makin membuat Jung Hoseok membeci orang tuanya sendiri. Oh bukan, maksudnya
ayah dan ibu tirinya.
Ponselnya
berdering dengan tulisan di layar JIMIN.
Hoseok mengernyitkan dahinya, pikirnya ada apa adiknya menelepon saat ini.
“Yoboseo....
iya aku sudah bangun.... Ah iya aku sudah makan.... tentu saja aku akan keluar
lagi aku ada urusan.... sudahlah fokus saja pada terapimu aku baik baik
saja.... iya.... bye....”
Jimin.
Satu – satunya keluarga yang tidak bisa ia benci. Meskipun ia yang menyebabkan
Hoseok membenci orang tuanya, namun setidaknya Jimin masih peduli padanya.
Masih sering menanyakan keadaannya, masih sering menghawatirkannya. Dan setidaknya
ia merasakan kasih sayang dari Jimin.
Hoseok
kembali melakukan aktivitasnya di studio bersama Suga dan Rap Monster. Hari ini
benar – benar harus selesai semuanya. Hoseok sendiri juga sudah tidak sabar
ingin menunjukkan sesuatu pada adik tiri kesayangannya di hari kululusan.
Hoseok
tidak pulang malam tadi karena mereka harus ke SMA tempat Jimin sekolah untuk
melakukan gladi bersih. Acara kelulusan itu terlihat sangatlah special karena
persiapannya juga sangat banyak dan membutuhkan waktu yang lama. Ada juga
sederet artis yang akan turut meramaikan acara tersebut. Ternyata itu tidak
hanya acara kelulusan, acara itu bertepatan dengan hari jadi sekolah. Pantas
saja semuanya terlihat sangat megah.
Hoseok menyempatkan diri untuk
mampir ke rumahnya. Sepertinya ia sudah mulai merasakan kecanduan pada pil yang
tidak lama ini ia konsumsi. Ia selalu ingin kembali ke masa lalunya setiap
saat, ia jadi semakin sering menginginkan wajah eommanya muncul di hadapannya,
ia semakin sering untuk ingin melupakan kejadian pahit di dunia nyata.
Seperti saat ini, tak ada orang yang
menyambut kedatangannya di rumah. Rumahnya kosong. Hoseok beranggapan bahwa
Jimin, dan kedua orang tuanya sudah berangkat. Dan lagi – lagi tanpa memberi
kabar ataupun menanyakan kabar.
“Kita
akan bertemu di sana.”
Karena suasanya hatinya sedang tidak
baik, ia memutuskan untuk memasukkan dua butir pil ke dalam mulutnya lalu
menelannya dengan susah payah. Ia seakan tidak peduli dengan efek dari pil itu
mengingat acara yang ia hadiri setelah ini.
Ia merebahkan diri di sofa, ia yakin
bisa bangun sebelum acara dimulai siang nanti karea ia hanya minum dua pil
saja, ia yakin halusinasinya kali ini tidak akan berlangsung lama.
***
Terlihat
barisan anak – anak sekolah dasar di atas panggung. Tersenyum lebar ke arah
kamera, tangan mereka mengangkat trophy dengan tulisan CHAMPION. Gelar yang
selama ini mereka inginkan. Suatu alasan mengapa mereka bekerja keras selama
ini. Namun, raut wajah Hoseok kembali terlihat gelisah tatkala tak dapat
menemukan orang yang ia harapkan untuk datang. Eommanya.
Hingga saat mereka harus turun dari
panggung-pun ia juga masih belum bisa melihat kehadiran eommanya.
“Eomma masih ada rapat dengan
koleganya mungkin.” Ucapnya berusaha menenangkan diri sendiri.
Dan akhirnya, senyumnya mengembang
ketika melihat seseorang wanita membuka pelan pintu di belakang sana. Wanita
itu melambai ke arah Hoseok sambil sedikit berlari.
“Eomma.. aku menang !”
Kini Hoseok sudah berada di pelukan
Eommanya. Tak apa meskipun terlambat, yang terpenting adalah kedatangan
eommanya.
“Maafkan eomma, tadi meetingnya agak
lama.”
“Tidak apa – apa Eomma, nanti bisa
dilihat bersama lewat video.”
“Eomma janji, di penampilanmu
selanjutnya eomma akan duduk di kursi paling depan untuk menontonmu dari awal
hingga kahir, lalu eomma akan berdiri sambil bertepuk tangan paling keras
untukmu.”
“Janji ?” Jari kelingingkin Hoseok
menunggu jawaban jari eommanya.
“Janji.” Jari kelingking eommanya
kini bertautan dengan Hoseok. Menandakan perjanjian yang harus ditepati.
Namun, tak lama setelah itu, kedua
orang tuanya berpisah. Hoseok sering sakit mag hingga saat ini mag-nya semakin
parah. Appanya marah lantaran merasa Eomanya tidak bisa menjaga Hoseok dengan
baik. Lalu Hoseok memeluk Appanya bermaksud untuk bilang bahwa itu bukan
kesalahan eommanya.
“Appa...” Suaranya tercekat menahan
perutnay yang sakit.
“Akan kucari Ibu yang bis amengurusnya
dengan baik. Dan kau! urus saja perusahaanmu. Kejar jabatan yang kau inginkan
dengan semua keserakahan yang kau miliki.”
Hak asuh anak jatuh ke tangan
Appanya, akhirnya Hoseok harus berpisah dengan eomma yang selama ini memberikan
pelukan hangan untuknya.
“Eomma masih harus memegang janji
itu,” Ucap Hoseok
“Eomma akan tetap mengingat janji
itu. Tunggu Eomma ya, sayang.”
Itu kata – kata terakhir yang ia
dengar dari eommanya, sebelum akhirnya selama bertahun – tahun ia tak lagi
bertemu dengan eommanya. Yang ia tahu terakhir kali eommanya sudah menikah
dengan lelaki lain dan memiliki anak yang lebih muda dua tahun dari Hoseok.
Eommanya sudah berbagi kasih sayang kepada anak lain.
***
Hosoek terbangun dengan nafasnya
yang memburu, dan memang selalu seperti ini. Kepalanya terasa berputar, namun
ia masih ingat jika ia harus ke acara kelulusan sekolah Jimin. Dan benar saja,
hari sudah siang dan mungkin saja ia akan terlambat.
Tak butuh waktu lama untuk bersiap
diri, ia langsung menuju mobilnya dan melaju dengan kecepatan tinggi.
Di tengah perjalanan, berkali – kali
ada panggilan dari nomor yang tak dikenal. Karena merasa tidak penting ia tidak
mengangkatnya dan menjawab telepon dari Suga.
“Yoboseo...
iya aku dalam perjalanan tapi akag macet... tidak, aku tidak akan terlambat,
tenang saja... iya.”
Hoseok tiba di tempat agak
terlambat, kecelakaan yang katanya masih baru saja terjadi tadi pagi masih saja
belum selesai hingga menimbulkan kemacetan yang sagat panjang dan lama.
“Mian.. tadi ada kecelakaan di
jalan,” Ucap Hosoek ketika menemui teman – temannya di backstage.
“Kau tahu ? Kita hampir saja tampil
berdua kalau kau tidak bisa datang. Dna kau tahu apa artinya itu ? Disaster !”
Ucap Suga sambil menekankan kata DISASTER
padanya.
“Ya mau bagaimana lagi, lagipula dia
kan sudah ada di sini,” Ucap Rapmonster menengahi.
“Yoi Ma Brooo !” Hoseok menepuk
keras pundak Rap Monster karena marasa telah di bela.
“Yess...” Rap Monster membalas
menepuk pundak Hoseok dengan lebih keras, alhasil kini malah Hoseok yang
meringis kesakitan.
Oh tidak, namanya bukan Jung Hoseok
kali ini, melainkan J-Hope.
Para kru belakang layar sudah
mengisyaratkan mereka bertiga untuk segera ke atas panggung. Dengan microphone
di tangan masing – masing, topi khas rapper, dan kaos hitam senada mereka naik
menggetarkan panggung, menuai sorak dari para murid SMU yang sudah menanti penampilan
mereka.
J-Hope bisa mendengar dengan jelas
seseorang meneriaki namanya.
“Hoseok Hyung !!!”
Matanya menemukan seseorang yang
meneriaki namanya itu, seorang pria dengan seragam kelulusanya, sambil memegang
ponsel seperti sedang merekam. Pria itu melambai senang ketika manik mereka
bertemu.
“Ah,
kau di sana rupanya,” Ucapya dalam hati seraya tersenyum ke arah Jimin.
Penampilan mereka
membuat mulut menganga saking bagusnya. Suga dan Rapmonster turun meninggalkan
J-Hope yang masih akan melanjutkan penampilan dance.
J-Hope sudah membuka jaketnya dan berganti
mengenakan baju putih polos. Dengan sekejap mimiknya berubah seiring dengan
musik yang diputar.
Eoduwojyoeo
ga nae miraeui bit
Chigi
orin sarange ilheun kkumui gil
Nae
yamangui dokgi maeil kareul garatji
But
chameul su eopneun nae yoksime
Kareun
mudyeojyeo
Algo
isseo da
Pikirannya
melayang kemana – mana, ia membayangkan ada Jimin yang turut menari bersamanya.
Namun ia juga tengah menghadapi kenyataan bahwa ia hanya bisa melihat Jimin
yang duduk di bangku penonton sambil terus berteriak paling keras untuknya.
Oh Tidak, efek obat yang ia minum
tadi tiba – tiba terasa lagi, kepalanya mulai berdenyut kembali, ia berusaha
agar menjaga pandangannya tetap terjaga, ia juga tetap mencoba berkonsentrasi
untuk merasakan irama musik dan juga memastikan tak ada yang salah dengan tariannya.
It’s
too evil
It’s
too evil
It’s
too evil
Yeah
It’s evil
Kepalanya
terasa berputar hebat kali ini. Ia tak berhenti menyumpah pada dirinya sendiri
yang meminum pil itu tadi pagi dan mengacaukan penampilannya. Tapi beruntung ia
bisa melakukannya sampai akhir.
“J-Hope !!”
Suara itu... J-Hope mendengarnya,
seakan ia sangat merindukan suara tersebut, dan ia memang merindukan suara
serta pemiliknya.
Di bangku penonton paling depan,
seorang wanita berpakaian kantor berdiri, bertepuk tangan serta berteriak
paling keras untuknya. J-Hope bisa melihat wanita itu tersenyum lebar untuknya,
bibir wanita itu bergetar, matanya berkaca – kaca, J-Hope merasakan kembali
kehadirannya, wanita yang ia rindukan. Seseorang yang selalu ia nanti kehadirannya.
“Eomma ?”
BRUK
J-Hope tak dapat lagi menahan sakit
yang ia rasakan hingga saat ini, masih di atas panggung lalu limbung begitu
saja. Membuat orang – orang riuh bertanya – tanya apa yang terjadi. Matanya
belum tertutup, kesadarannya masih belum hilang. Ia bisa melihat Eommanya yang
panik naik ke atas panggung dengan tatapan khawatir.
“Jung Hoseok...”
Ia berada sangat dekat dengan
Eommanya saat ini, ia bisa merasakan tangan Eommanya menyentuk
kepalanya,mengusap rambutnya dengan khawatir. J-Hope tersenyum menyadari hal
itu, setelah sekian lama, kini mereka bertemu kembali, dan yang terpenting saat
ini adalah, Eommanya kembali menghawatirkannya.
“Hyung !!”
Dan kini ia melihat seseorang
berlari ke arahnya, menubruk tubuhnya dengan wajah panik.
“Hyung ! Kau kenapa ?”
“Jimin..
kau berlari ?”
J-Hope pastikan ia masih bisa
melihat meskipun samar – samar, tapi ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat
saat ini. Park Jimin berlari ? apa kini ia kembali dalam halusinasinya ? Ia
benar – benar melihat Jimin berlari yang sekarang menatapnya khawati.
Kepalanya makin terasa berat, ia
juga semain tak dapat melihat apapun, hanya ada samar – samar dua orang di
depannya terus memanggil namanya, sampai akhirnya ia tak merasakan apa – apa
lagi.
Jung Hoseok membuka mataya perlahan,
merasakan sorot lampu yang langsung menyerang indera penglihatnya. Ia melihat
sesuatu menempel pada tangannya, menyambung dengan selang infus. Tak prlu
diberi tahu lagi ia sudah tahu dimana ia berada. Hoseok mengela nafas berat
mencoba mengingat – ingat apa yang telah terjadi. Seingatnya, kemarin sore ia
baru saja tampil di acara kelulusan, lalu menampilkan dance, lalu...
Hoseok terbelalak tak percaya, ia
masih tidak yakin dengan apa yang terjadi. Apakah itu kenyataan atau han ya
halusinasinya belaka mengingat pagi itu ia kembali meminum pil yang selalu ia
gunakan untuk berlari ke masa kecilnya.
Ia terlalu sibuk dengan pikirannya
sehingga mengabaikan seseorang yang dari tadi melempar senyum ke arahnya.
“Overdosis.” Ucap wanita itu
mengejutkan Hoseok “Apa yang kau lakukan selama ini, nak ?” Lanjutnya.
Hoseok tidak percaya siapa yang kini
berada di hadapannya. Ia tidak tahu apakah ia harus senang atau sedih, sungguh
ia ingin sekali memeluk wanita di depannya, menangis dalam pelukannya, sambil
mengatakan bahwa ia sangat rindu.
“Eomma...”
“Bogosipheo...”
Eomma menunjuk tabung berisi pil
yang selama ini Hoseok konsumsi.
“Untuk apa kau menyentuh benda
seperti ini ? Ada apa denganmu ?” Kini bulir – nulir bening mulai turun di
pipin Eommanya.
“Aku hanya mencoba untuk bertemu
dengan Eomma,” Jawab Hoseok.
Tak perlu dijelaskan lagi untuk apa
Hoseok mengkonsumsi pil tersebut, pastinya dokter juga sudah memberikan
informasi yang cukup jelas pada eommanya. Jika tidak pasti eommanya tidak akan
menangis saat ini.
“Kau tahu Jimin ?”
Hoseok merasa ada yang tidak beres
ketika eommanya menyebut nama adik tirinya itu dengan tiba – tiba.
“Kemarin pagi Jimin, appamu, dan ibu
tirimu mengalami kecelakaan. Appa dan Ibu tirimu sudah tak dapat diselamatkan
ketika masih di tempat kejadian. Sebenarnya Jimin masih bisa diselamatkan,
namun sore hari Jimin menghenbuskan nafas terakhirnya.”
Bagaikan dihantam oleh sesuatu yang
sangat besar. Eommanya pasti bercanda akan hal ini. Apa lagi yang ia hadapi
kali ini ? Bukankan kemarin ia dengan sangat jelas melihat jimin hadir dalam
acara kelulusan ? Ia bahkan dengan sangat jelas mendengar teriakan Jimin yang
paling keras yang bangku penonton.
Lalu ia mulai mengingat kepingan
kejadian yang sama sekali tidak ia sadari. Ketika pagi ia terbangun, tak ada
orang di rumah, keluarganya sudah berangkat mengantar Jimin ke acara
kelulusannya. Ketika ia beragkat jalanan sangat macet akibat kecelakaan yang
terjadi saat pagi, dan eommanya bilang kalau keluarganya kecelakaan pagi hari
pula. Ia juga mendapat belasan panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal
yang ia abaikan begitu saja sebelum akhirnya ia menerima panggilan dari Suga,
yang sebenarnya itu adalah panggilan dari pihak rumah sakit. Ketika tampil ia
melihat Jimin duduk di bangku menonton tanpa kursi rodanya, ia melihat Jimin
menggerakkan kakinya dengan leluasa, namun sebenarnya tak ada Jimin di sana.
Ketika ia ambruk di atas panggung ia melihat Jimin berlari ke arahnya, itu
artinya Jimin ingin mengucapkan selamat tinggal untuknya. Jimin sudah terbebas
dari kelumpuhan yang selama ini mengurungnya, sekaligus nyawanya yang berlari
dari raganya saat itu juga.
Hoseok merutuki dirinya, menyumpah
pada dirinya sendiri, berkata betapa bodohnya dia. Bagaimana bisa ia sama
sekali tidak menyadari hal yang sebenarnya terjadi. Air mata yang sedari tadi
ia tahan akhirnya jatuh, tangannya mengepal erat, sungguh ia ingin memukul
dirinya sendiri saat ini. Kakak macam apa yang tidak berada di samping keluarganya
ketika mereka sedang sekarat.
Hoseok menyambar pil yang berada di
tangan eommanya. Membukanya dengan susah payah lalu menuangkan pil itu ke
tanganya hingga berjatuhan di lantai. Belum sempat pil itu memasuki gerbang
mulutnya, pil itu sudah berjatuhan berhamburan di kasur.
“Apa kau menyalakan dirimu saat ini
Hoseok ?” Tangan Eommanya menahan tangan Hoseok agar tidak memakan pil itu. Ia
tak akan membiarkan Hosoek melanjutkan hidupnya dengan penuh penyesalan seperti
itu terus (lagi).
“Aku ingin bertemu Jimin... Lepaskan
tanganku !” Hosoek mengibaskan tangan eommanya dengan kasar hingga eommanya
terhuyung ke belakang.
“Eomma...” Teriak Hoseok ketika
melihat Eommanya yang terjatuh akibat ulahnya.
Hoseok langsung turun mengabaikan
bagaimana tangannya yang mengeluarkan darah karena infusnya tertarik begitu
saja mengakibarkan darah mengucur di tangannya.
“Mianhae Eomma...”
Hoseok kini memeluk eommanya yang
terduduk. Dibalas dengan pelukan hangan seorang ibu untuk anaknya.
Akhirnya ia merasakannya lagi,
pelukan yang ia rindukan.
“Eomma akan membantumu keluar...”
Kini tangan eommanya mengusap lembut
kepala Hoseok, menariknya lebih dalam ke dalam pelukannya untuk merasakan lebih
banyak kasih sayangnya. Hoseok kembali merasakan bagaimana rasanya menangis
dalam pelukan eomma yang sudah lama tak
ia dapatkan. Ia merasakan kembali belaian lembut dari seorang eomma.
“Tinggallah bersama eomma, eomma
tidak akan meninggalkanmu lagi. Dan jangan lagi kau sentuh pil itu lagi,
Arraseo ?”
“Bantu aku eomma...” Ucapnya masih
dalam pelukan Eommanya.
“Pasti, sayang. Pasti eomma akan
membantumu. Ayo kita temukan jalan keluar bersama – sama, Jimin juga pasti akan
senang melihatnya.”
Dalam pelukan Eommanya, senyum
Hosoek telah kembali meskipun air matanya kini juga semakin deras. Ia tidak
pernah membayangkan hal ini akan terjadi, sesuatu yang selalu ia inginkan, dan
sekarang benar – benar terwujud. Ia juga akan berjanji pada dirinya sendiri
untuk selalu ada untuk eommanya, tak akan ia biarkan hal yang lama terulang
kembali.
Hey
mama
Ijen
naege gidaedo dwae eonjena yeope
Hey
mama
Naege
akkimeopsi jusyeossgie
Beotimmogieossgie
Hey
mama
Ijen
adulnaemi mideumyeon dwae
Useumyeon
dwae
Hey
Mama
Hey
Mama
Sesangeul
neukkige hajeun geudaega mandureojun sum
Oneulttara
mundeuk deo ango sipen pun
Ttang
wi geu mueosi nopda hario
Haneul
mit geu mueosi neolpda hario
Ojik
hana eomma soni yakson
Geudaeneun
yeongwonhan namanui placebo
I
Love You Mom
(Translate)
Hey
mama
You
can now lean on me
I’ll
be always next to you
Hey
Mama
Because
you generously gave me and you were my support
Hey
Mama
Now
you can balieve in your son, you can smile
Hey
Mama
Hey
Mama
The
breath you made for me
Is
what let me feel the world
For
some reason, today
I
want to be embraced in your arms
What
is so hight abovethe ground
What
is so wide beneath the sky
Only
one, mother’s hand is a healing hand
You
are my only placebo forever
I
Love Mom
Hai hai... dalam postingan kali ini saya bikin fanfiction tentang J-Hope. Kayak ff sebelumnya, ada sedikit cuplikan lagu solo J-Hope di sini. Dan kalian bisa langsung nonton J-Hope nari boy meet evil di youtube, dijamin keren lah pokoknya !!
Jangan lupa kunjungi wattpad saya ->> @Tuanputri01 kalian akan nemu ff lain karya saya.
Sorry kalau banyak typo. Maklumin lah yaaa
Komentar
Posting Komentar